HUJAN
Bulir‐bulir air ini menjadi saksi tentang
kita berdua. Tentang sebuah ikatan tak berstatus namun begitu kuat sampai kita
tak bisa terpisahkan. Tentang kita berdua.
Bersama dengan turunnya pasukan air dari
langit, bersamaan pula dengan pertautan kelingking antara kita berdua. Kamu,
dan aku. Merupakan satu kesatuan yang berjanji untuk selalu bersama hingga
terpisahkan oleh maut.
Melihat hujan diluar sana, rasanya aku
teringat masa lalu..
Waktu itu, aku, berada dalam suatu ruangan
yang sesak itu. Dipenuhi dengan teman sebayaku yang ribut itu. Ada yang
bergosip, melempar‐lempar kertas, maupun bernyanyi sambil memetik gitar.
Percayalah, mendengar mereka semua membuatku pusing.
Aku, dengan nyamannya bersandar ke jendela,
melihat keluar.
Hujan.
Titik‐titik air itu terus menyerang bumi
tanpa ampun. Benturan‐benturan antara air dan bumi tersebut menciptakan suara
gaduh namun terdengar indah ditelingaku. Simfoni suara alam yang merdu itu…
merupakan konser yang paling aku sukai dibanding konser penyanyi manapun.
Suasana hujan membuat hawa terasa sejuk meski tetap saja sedikit terasa sesak
karena padatnya kelasku itu.
Ah, aku memang suka hujan.
Karena hujan, tumbuhan yang tak bertenaga
itu menjadi segar kembali.
Karena hujan, tanah yang gersang bisa basah
dalam waktu sekejap.
Karena hujan, aku bisa merasakan kesejukan
tersendiri, menikmati alam, mensyukuri tiap bulir yang jatuh ke bumi.
Karena hujan…. Aku bisa mengenangmu untukku
sendiri.
Ya, harus kuakui, aku mencintai seseorang
diam‐diam. Cukup dilahap olehku saja, kunikmati kesendirianku untuk melihatnya
dari jauh dan kusimpan dalam memori yang tidak akan pernah kulupakan.
Tapi sayangnya, banyak orang mengatakkan
bahwa dia menyukai orang lain.
“Hey.”
“Eeeeh?”
Ah, dasar bodoh. Dia terlalu cerdas. Datang
disaat aku memikirkannya.
“Melamun saja terus. Gak baik tau.” Katanya
pelan sambil tertawa renyah.
Aku memaksakan diri untuk tersenyum. Aku
terlalu takut untuk menunjukkan ekspresiku kepadanya.
Kucoba saja acuhkan dia. Namun sayangnya
jantung ini tak bisa berkompromi. Malah berdegup lebih kencang. Dan membuatku
berkeringat dingin. Aku… gugup.
“Oh iya, kamu sudah mengerjakan tugasnya?”
“Eh ano…” Aku benar‐benar bingung harus
menjawab apa. “Aku sudah mengerjakannya.”
Dia pun mengernyitkan kening. “Kau aneh,
hahaha”
“Hahaha.”
Dia pun segera beranjak lalu berbaur
bersama teman‐temannya di depan.
Tiba‐tiba saja…
Krieekk..
“Eh Putri!”
Sosok gadis berambut panjang sepunggung dan
agak pendek, memasuki ruanganku. Semua mata langsung tertuju padanya, Ya,
perempuan itu memang menjadi salah satu pusat perhatian. Dan perempuan itu..
“Hey! Kapan sih kamu mau nembak Putri?
Ciyee..”
Dan perempuan itu adalah orang yang
disebut‐sebut incaran si dia.
Aku, bersama kehampaanku ini, berusaha
mengasingkan diri ketika mereka berdua sudah berada disatu tempat dan didukung
oleh teman sekitarnya. Kusandarkan lagi badanku ke jendela, kuhirup lagi aroma
basah dan tanah yang bercampur, lalu ku hempaskan pelan, berharap beban ini
hilang begitu saja.
Namun rasanya, cara ini tidak berhasil.
“Waah! Putri emang cocok ya sama kamu!”
Huh. Aku benci orang‐orang itu. Memandang
bahwa yang cantik dan tampan itu modal untuk dicintai. Nyatanya, aku tidak.
Nyatanya aku tidak mencintai dirinya karena wajahnya. Untuk ukuran
laki‐laki, wajahnya tergolong standar. Tidak tampan namun tidak buruk. Biasa
saja. Namun ada beberapa hal yang menarik darinya..
“AAAAA”
“Argh!”
Sejenak kelas menjadi hening. Kulihat
didepan kelas, perempuan itu dengan posisi hampir jatuh, ditahan oleh dirinya.
Aku, melihat itu. Aku melihat itu… aku merasa hancur. Aku. Hancur.
“Aaaaa! Manis sekali!”
Oh Tuhan… mengapa dia tidak biarkan saja perempuan itu terjatuh, agar mukanya terbentur tanah dan merasakan bahwa sakit yang kurasakan lebih dari itu?
Dia dengan kasar melepaskan pertahanannya.
“Kau berat sekali,”
Suasana kelas makin gaduh. Meneriakkan nama mereka agar saling bersatu. Teriakan itu bagai pisau seakan menembus dadaku, kurasakan sakit amat mendalam namun tak dapat kulukiskan.
“Dasar tukang gosip!” tukasnya pelan.
Dia dengan santai berjalan… berjalan ke arahku.. aku serius. Dia berjalan ke arahku. Ke bangkuku.
“Aku duduk disini saja. Lebih enak,”
Kamu tak seharusnya duduk disini bersamaku. Aku tak pantas duduk disampingmu.
“Hah.. orang‐orang itu nyebelin ya. Menggosip saja kerjaannya. Padahal kan yang kusuka bukan dia..”
AH. INI BENAR‐BENAR MEMBUATKU MATI PENASARAN.
Aku pun dengan pelan menoleh padanya, dengan santai dia melihatku yang sepertinya kelihatan gugup.
“Haha! Iya, aku suka sama seseorang. Orang itu unik dan membuatku penasaran karenanya,”
Semoga saja itu aku.
“Memangnya siapa?” tanyaku lirih.
“Kamu.”
Tuhan. Tolong hentikan waktu ini. 5 menit saja. Ah tidak, sejam deh.
Mataku terbelalak. Aku tak percaya. Ah, dilihat dari gayanya, pasti dia bercanda.
TEEEEET.
Sudah bel.
Semua bergegas pulang, membereskan buku masing‐masing dan segera pulang. Dan hujan, malah semakin deras sehingga banyak yang memaksakan diri untuk berbasah kuyup karena serangan pasukan air tersebut.
Dan yang tersisa hanya aku dan dia.
Aku terus terdiam. Memikirkan kata‐katanya tadi. Membuat semuanya seolah nyata, meski tahu itu hanyalah dongeng semata.
“Hey..”
Hujan, kau benar‐benar membawa berkah ke bumi ini.
“Ya?”
It feels awkward, semua terasa canggung. Dia menatapku lekat‐lekat, yang malah membuatku takut. Aku takut dia dapat membaca pikiranku.
“Maaf jika aku terlalu lancang. Tapi aku memang suka kamu, kok.” Ucapnya.
Aku benar‐benar tidak mempercayai ini. Aku? Mendapatkan seseorang yang aku impikan? Kok rasanya seperti tak mungkin…
“Kamu itu mahluk paling unik yang pernah kutemui. Kamu suka hujan. Aku tahu karena aku suka memperhatikanmu, jika hujan kamu suka memperhatikan luar. Kamu mempunyai sifat yang keras, namun berpegang teguh pada prinsipmu. Dan…”
Dia menunduk dengan wajahnya yang merah.
“Aku tergila‐gila padamu.”
Aku rasa aku berada dialam mimpi. Namun begitu mendengar suara hujan yang begitu deras, aku sadar bahwa itu nyata. Impianku hidup. Mimpiku nyata. Bersamaan dengan suasana yang kusuka, hujan, dia menyatakan pernyataan tak terduga. Yang membuatku terkejut dan bersyukur karenanya. Rasanya… aku ingin menangis.
“Kau mau pulang bersamaku? Kalau kau mau, tautkan kelingkingmu pada kelingkingku.”
Mukanya memelas sekali. Dia lucu. Dihadapanku terdapat kelingkingnya yang berharap untuk disambut oleh kelingkingku. Aku, berusaha untuk menikmati momen ini sejenak, menutup mata dan menghirup udara disekitarku. Sejuk, dan alami.. ditambah dengan kehadirannya disini.
“Ya, aku mau..” jawabku sambil menyambut kelingkingnya.
sumber : http://nurdiantimfasya.blogspot.com/2012/10/hujan.html
Thanks udah baca ^^
*Baca juga yah cerpen lainnya klik disini
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
thanks for read and please leave a comment :)