(part 1) (last part)
Rifan menutup telponnya. Aku kaget. Kenapa Rifan menutup teleponnya??
Baca cerpen lainnya disini
Rifan menutup telponnya. Aku kaget. Kenapa Rifan menutup teleponnya??
“Fan? Halo?” Rifan
mematikan telponnya. Aku mencoba hubungi beberapa kali namun dia tak menjawab
panggilanku. “Kok gak diangkat sih!”
Dengan cepat kunyalakan mesin mobil dan berlalu dari halaman
café tersebut.
*******
Tak lama, aku tiba di kost-an. Dan betapa kagetnya ketika
kusadari ternyata pintu kamarku terbuka. Aku berlari menuju kamar tersebut dan
cukup kaget ketika melihat Doni tengah terduduk di ranjangku sambil menundukkan
kepalanya.
“Doni….”, seruku. Aku tau dia pasti menyadari kedatanganku.
“ngapain kamu disini?”
Doni mengangkat wajahnya, pandangannya lurus ke depan.
Kuikuti arah pandangnya yang terarah tepat pada tembok kamarku, disana
terpampang foto-foto Rifan bersamaku. Foto-foto yang sengaja kucetak dengan
ukuran besar dan dengan sengaja kutempelkan di tembok tersebut. Aku tak pernah
mengira bahwa Doni akan senekat ini masuk ke kamarku tanpa izin dariku.
“Jadi ini yang selama ini kamu sembunyikan dari aku….” Desis
Doni perlahan.
Aku tertegun, tak ada waktu lagi untuk mencari-cari alasan.
Aku sudah tertangkap basah, tak dapat mengelak lagi.
Perlahan Doni bangkit dari ranjangku, berjalan menuju
foto-foto yang tertempel di tembok itu. Aku hanya memperhatikan langkahnya yang
terasa amat berat. “Kenapa kamu gak bilang?!”, katanya.
“Semua itu gak penting. Itu cuma masa lalu, Don…”
“Masa lalu yang sangat berarti, kan?”
Foto-foto itu mulai dicabut satu per satu oleh Doni.
Kemudian ia memutar badannya, menatap tajam ke arahku. Pandangannya penuh
amarah, matanya sembab, dapat kupastikan ini sangat melukai hatinya. Lantas,
aku bisa apa?
“Tadinya aku datang kesini mau minta sama kamu soal kejadian
di café tadi. Tapi, apa yang aku lihat sekarang? Aku rasa aku gak perlu minta
maaf….”
“Kamu gak perlu minta maaf.”
“Ya! Karena yang jelas-jelas bersalah itu kamu, bukan aku!
Menurut kamu apa salah jika aku marah?”, bentak Doni. Aku terdiam.
“jawab!!” Doni melemparkan foto-foto yang sedari tadi ada di
tangannya tepat ke wajahku.
“Trus sekarang mau kamu apa??!” aku berbalik membentaknya.
“Kamu masih cinta sama Rifan, kan?!”
“Ya! Aku masih sangat cinta sama Rifan. PUAS?!” Emosiku
memuncak.
Ntahlah apa yang kurasakan saat ini. Aku tahu aku salah, aku
takut, panic, semrawut!
Doni menatapku dengan tatapan penuh rasa tidak percaya. Ia
pasti kaget mendengar ucapanku barusan. Sudah hampir setahun kami bersama, dan
hari ini dengan lantang kukatakan bahwa aku masih mencintai Rifan. Itu sudah
pasti amat sangat melukai hatinya.
“Fine.” Doni menghela napas sambil berjalan menjauhiku,
menuju pintu kamar. Sebelum akhirnya ia berbalik menatapku kembali. “Sekarang
kamu pilih aku, atau Rifan?” ucapnya perlahan. Membuat dadaku terasa sesak. Tak
kusangka aku harus berhadapan dengan pertanyaan itu. “jawab”, lanjutnya lagi.
“Kamu benar-benar mau aku jawab pertanyaan itu?”
Doni mengangguk pelan. Tatapannya masih belum terlepas dari
mataku. Matanya memerah, airmatanya dapat kulihat menggenangi kelopak bawah
matanya. Ya Tuhan, apa yang sudah aku lakukan sampai-sampai seorang pria
seperti Doni bias dengan mudahnya menangis di hadapanku?
Perasaan bersalah kian menghantui, tiap detik berlalu
perlahan terasa bagaikan setahun. Namun terlambat sudah untuk menyesali
semuanya. Sekarang aku harus menentukan pilihan. Doni menanti jawabanku.
“Kamu boleh pergi.” Desisku pelan. “Aku pilih Rifan.” Lanjutku.
Doni lagi-lagi terlihat tak percaya dengan jawabanku. Ia benar-benar
terlihat terpukul.
Kemudian ia memutar badannya, dan perlahan menghilang di
balik pintu kamarku yang kembali tertutup.
Alur napasku perlahan mulai lancer. Degub jantungku pun
kembali stabil saat kusadari pipiku sembab dibasahi airmata yang sedari tadi
menetes. Aku sudah memilih Rifan, dan kini aku kehilangan Doni.
“Rifan harus tau…..”
Dengan spontan aku tersenyum puas. Terlepas dari masalahku
dan Doni kini aku sudah sepenuhnya memilih Rifan, itu artinya aku bisa kembali
bersatu dengan Rifan. Tanpa terpikirkan bagaimana dengan kekasihnya Rifan? Apa mungkin
Rifan akan memutuskan hubungan mereka dan kemudian kembali padaku?
Ah terserahlah. Yang penting sekarang aku ingin Rifan
mengetahui mengenai hubunganku dan Doni yang telah usai.
Tanpa pikir panjang aku langsung mengambil tas dan segera
keluar pintu, namun langkahku terhenti karena ada seseorang yang berdiri tepat
di depan pintu kamarku.
“Rifan? Kamu ada disini??” intonasiku penuh kegirangan. Mendadak
airmataku kembali berlinang dan dengan spontan aku langsung memeluk mantan
kekasihku itu.
Namun Rifan menolak. Ia tak ingin aku memeluknya. “Sorry….”,
katanya. Airmataku menetes.
“Kenapa?” tanyaku.
Rifan mengangkat tangan kanannya yang memegang sebuah kertas
berwarna biru dengan pita kecil yang mengelilinginya. Bukan, itu bukan kertas,
tapi amplop. Sebuah amplop yang terlihat seperti undangan.
Ya, itu sebuah undangan. Keningku berkerut, menerka-nerka
apa yang ada di dalam amlop biru berpita itu? “Itu apa?” tanyaku.
“Aku kesini mau ngantar ini ke kamu. Minggu depan aku dan
Sofia akan bertunangan. Kami menikah bulan depan.” Jawabnya singkat sambil
memberikan amplop tersebut.3
“Apa? Menikah?” dadaku kembali sesak. Aku kembali susah
bernapas dan kusadari aku berasa ingin mati. Ini nyata?
“Kamu becanda kan?” tanyaku lagi. Rifan menggeleng sambil
lagi-lagi menyebutkan kata ‘sorry’.
“Aku baru aja mutusin Doni, karena aku milih kamu. Karena aku
ingin menjalani hubungan sama kamu. Tapi ini???? Ini apa-apaan??” Amplop biru
tersebut tergenggam erat di tanganku. Rasanya ingin kusobek-sobek.
“Rin, kamu ngelakuin itu semuanya sendiri, kan? Apa kita
pernah bersepakat untuk balikkan? Aku juga gak pernah bilang kalo aku bakal
mutusin Sofia, kan? Kamu mutusin Doni atas kemauan kamu sendiri, bukan atas
kesepakatan kita.” Tutur Rifan.
Aku benar-benar tak percaya dengan apa yang barusan
diucapkan oleh Rifan, bukan ini yang kumau, bukan seperti ini yang kuharapkan.
“Lantas, hubungan kita selama 2 bulan ini kamu anggap apa?”
aku mulai terisak.
“Hubungan? Hubungan yang mana? Selama 2 bulan ini antara
kita ya Cuma sebatas teman, Rin. Gak lebih.”
Cuma sebatas teman? Jadi, Cuma pertemanan? Aku lebih
memahaminya seperti perselingkuhan. Namun
ternyata Rifan menganggapnya hanya pertemanan? Ya Tuhan, kenapa aku sebodoh
ini.
“Pertemanan? Kita ketemuan hampir tiap minggu. Kita jalan,
makan, nonton bareng. Aku bela-belain bohong sama Doni demi jalan sama kamu,
dan itu semua Cuma pertemanan? Kamu………….” Tenggorokanku tercekat. Rasanya benar-benar
menyakitkan mengucapkan kalimat-kalimat tersebut.
“Maafin aku, Rin. Tapi memang aku sama sekali gak berniat
lebih. Aku sangat menyayangi Sofia. Harusnya kamu bisa menyayangi Doni. Dan lupakan
soal kita.”
PLAK!!!!!!!!! Telapak tanganku mendarat tepat di wajah pria
itu. “KAMU, BRENGSEK!”
“Thank’s.” Rifan meninggalkanku. Ia berjalan menuju mobilnya
dan dengan sekejap sedan merah itu berlalu dari halaman kost ku.
Apa yang sudah kulakukan?
*********
Baca cerpen lainnya disini
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
thanks for read and please leave a comment :)