Selasa, 09 April 2013

Pilih Masa Depan atau Masa Lalu (last part)



“Thank’s.” Rifan meninggalkanku. Ia berjalan menuju mobilnya dan dengan sekejap sedan merah itu berlalu dari halaman kost ku.


Apa yang sudah kulakukan?



*****


‘hari ini tepat setahun setelah kejadian waktu itu. Tepat setahun sudah aku kehilangan orang yg kusayangi juga orang yg menyayangiku, Rifan dan Doni.. mereka tak pernah terlihat lagi setelah hari itu. Meski sesekali aku sempat berpas-pasan dengan Doni, namun rasa bersalahku padanya membuat seolah ada benteng yg menghalangi di antara kami. Aku benar-benar bodoh. Haha.


Andai aku diberi kesempatan untuk mengulangi semuanya. Harusnya aku gak sia-siakan Doni…’

“Yakin?”

Suara seorang laki-laki di belakangku membuat jemariku berhenti mengetik tombol-tombol di keyboard laptopku. Aku kenal suara itu, masih sangat kukenal.

Aku tak berani berpaling ke belakang untuk melihat sosok pria tersebut. Hingga akhirnya ia perlahan berjalan dan langsung duduk di depanku. Perlahan pula kuarahkan pandangan padanya, memastikan bahwa ternyata benar itu adalah Doni.

Nafasku sedikit tercekat. Seolah ada ribuan batu yang jatuh di kepalaku saat ini. Setelah setahun saling menghindar satu sama lain, kenapa hari ini Doni tiba-tiba muncul di hadapanku?

Rasanya pengen langsung lari saat itu juga.

“Sorry, ga bermaksud ngeganggu. Gue cuma kebetulan lewat. Ngiseng ngintip ke laptop lo. Nebak-nebak, dan ternyata benar lo sedang nulis diary. Ga pernah berubah.. haha..” ujar Doni sambil sedikit tertawa. Aku tak berani menatap matanya, takut ia menyadari bahwa ada penyesalan yang menghantuiku selama setahun belakangan ini.

Aku terus menatap monitor laptopku, dan jemariku mulai mengetik-ngetik lagi. Melanjutkan tulisan yang belum usai. Kubiarkan Doni duduk di tempat itu.

‘Apa mungkin aku bisa mencintai Doni seperti aku mencintai Rifan? Ntahlah kenapa rasanya sulit untuk membuka  hati untuk Doni.. namun, sudahlah. Mungkin juga Doni sudah tak menyimpan perasaan apapun padaku. Sudah setahun berlalu, aku yakin semuanya hanya sisa kenangan.

Sekarang aku yang harus mulai bergerak. Move on. Aku harus segera memulai kisah baru, dan membiarkan kisah sebelumnya menjadi cerita yang telah usai. Aku harus bisa melupakan Rifan, juga harus bisa memaafkan diriku atas apa yang sudah kulakukan pada Doni. 2 hal yang benar-benar sulit. Aku tak tau ntah sampai kapan rasa bersalah dan penyesalan ini kan terus datang menghantui hari-hariku.

Rasanya aku ingin berlari dari kenyataan. Aku tak tau apakah aku bisa menghadapi semua ini atau tidak. Bahkan waktu setahun belum bisa membuatku merelakan semuanya.

Aku harus bagaimana………’

“Rin…”, seru Doni. Membuatku kembali berhenti mengetik. Namun aku hanya terdiam. Lidah ini masih enggan bicara padanya.

“Udah setahun lo gini-gini terus. Lo harus bisa maafin diri lo, Rin. Semuanya baik-baik aja kok.” Lanjut mantan kekasihku tersebut.

Apa maksud kalimatnya. Apa selama ini dia masih memperhatikan aku? Apa itu mungkin?

“Gue gak mau lo jadi kayak gini. Gue kangen lo yang dulu. Yang penuh antusias, rame, ceria. Bukan pemurung dan pendiam kayak sekarang. Waktu setahun itu udah cukup untuk merenung semuanya. Gue mau lo balik kayak dulu lagi..”

“Lo gak ngerti!”

Ntahlah kenapa rasanya aku tak ingin mendengar apapun ucapan Doni. Buru-buru ku tutup laptopku dan langsung berjalan menjauhi meja. Namun Doni menarik tanganku, membuatku sulit bernafas.

“Gue ngerti! Lo harus bisa lupain semuanya Rin. Gue tau gimana perasaan lo terhadap Rifan. Gue ngerti gimana sakit yang ada di hati lo. Dan gue juga paham gimana rasa bersalah muncul di benak lo tiap kali ngingat semuanya. Mau sampai kapan, Rin? Gue kangen Rini yang dulu.” Tutur Doni.

Aku menatapnya, air mataku berlinang. Tak satu katapun kuucapkan. Seolah ada yang menahanku untuk bicara, membuat tenggorokanku bagaikan dicekik.

“Gue udah gak peduli lagi soal perasaan gue ke lo, atau soal perasaan lo ke gue. Gue gak mikirin itu lagi. Tapi satu hal yang selalu mengganggu pikiran gue itu tiap kali ngeliat lo kayak gini, murung, menyendiri, diam. Itu bikin hati gue gak tenang, Rin. Gue khawatir sama lo. Gue gak mau lo terus-terusan kayak gini…”

“Apa peduli lo sih? Ngapain lo mikirin gue segala? Lo gak perlu ikut campur urusan gue lagi! Kita udah gak ada hubungan apa-apa lagi. Jelas, kan?”

“Tapi gue masih sayang sama lo! Jelas??!” bentak Doni.

Bentakkan Doni membuat hampir seluruh mata yang ada di café tersebut mengarah pada kami. Kedatangan Doni secara tiba-tiba membuatku lupa bahwa saat ini kami sedang berada di tempat umum.

Air mataku menetes. Kalimat Doni membuatku semakin sakit. Bagaimana bisa dia tetap mencintai aku yang jelas-jelas udah nyakitin dia?

“Lo bego ya?!!”

Aku berpaling dan berjalan secepat mungkin menjauhi café. Doni mengikuti di belakangku.

“Gue gak tau ini namanya bego atau naïf, atau apalah…” lagi-lagi Doni menahan langkahku. Membuatku terpaksa menatap matanya. “Gue masih sayang sama lo, Rin.” Ucapnya perlahan. “Gue gak bisa ngeliat lo dalam keadaan kayak gini terus.”

“Tapi….”

“kita mulai dari awal lagi… lupain masa lalu. Kamu mau kan?” Doni menatapku dalam-dalam. Bisa kurasakan tatapannya yang penuh harapan. Bisa kupahami betapa ia sungguh-sungguh dengan ucapannya.

“Tapi…” Tapi aku gak tau apa aku bisa menjamin hati ini untuk gak nyakitin kamu lagi…..

Belum sempat kalimat itu kuucapkan, Doni menciumku.

Beberapa detik berlangsung, bisa kurasakan helaan nafasnya yang hangat menyentuh kulit wajahku. Jantungku berdetak kencang. Bagaimana mungkin ini bisa terjadi?

“Ya, atau tidak?” kata Doni perlahan ketika matanya tepat di depan mataku.

“Ya….” Jawabku pelan.

Aku tersenyum dalam tangis. Doni ikut tersenyum mendengar ucapanku. Beberapa orang yang melihat ke arah kami sesekali terdengar mencibir tindakan Doni yang menciumku di depan umum. Tapi sudah tak ku pedulikan lagi apa kata orang. Satu hal yang kusadari saat ini adalah, aku bahagia.

***

Aku dan Doni berjalan perlahan menjauhi café, sambil sesekali bercanda kemudian tertawa, kami menuju tempat parkir. Aku merasa seperti hidup kembali. Seolah kembali berwarna setelah selama setahun belakangan ini semua terasa suram bagiku.

Hari ini, aku benar-benar bahagia.

“prokk… prokk.. prookk…” tiba2 terdengar seseorang, bukan, tapi dua orang, atau…

Aku berpaling ke belakang untuk memastikan, dan ternyata ada tiga orang pria disana yang ternyata mengikuti kami, mereka bertepuk tangan. Aku mengenal ketiga sosok pria tersebut, Alex, Tio, dan Bobi. Mereka bertiga adalah sahabatnya Doni.

“Kok mereka ada disini?” Tanyaku pada Doni yang berdiri di sebelahku.

“Emmm….. mereka…” Intonasi Doni membuatku sadar bahwa ia tak ingin menjawab pertanyaanku.

Tiga orang cowok itu berdiri di hadapan kami sambil sesekali terkekeh, sesekali tersenyum aneh. Aku jadi penasaran, mereka mau ngapain?

“Wow!” seru Bobi sambil bertepuk tangan sesaat.

“Hai, Bob. Lex, Tio… kebetulan banget kalian disini.” Sapaku pada mereka.

Aku mengalihkan pandangan pada Doni yang terlihat tak kaget dengan kehadiran ketiga sahabatnya tersebut.

“Atau mungkin bukan kebetulan kali ya? Hehe” lanjutku, mencoba untuk tak menunjukkan bagaimana penasarannya aku saat ini. Di sampingku Doni terlihat cengar-cengir sendiri.

Aku mengerutkan kening. Kenapa tiba-tiba perasaanku gak enak….

“Congratulation, Don. Gue gak nyangka lo berhasil.” Kata Alex sambil sedikit tersenyum.

Ucapan congratulation tersebut membuatku berpikir, mungkin itu sekedar ucapan selamat karena akhirnya aku dan Doni kembali berhubungan. Aku ikut tersenyum.

“By the way,,,,, nih..” Tio tiba-tiba menyodorkan sebuah kunci ke hadapan Doni. Dari bentuknya bisa kutebak itu adalah kunci mobil. “Seperti yang udah kita sepakati..” lanjutnya.

“Sepakati? Apa? Ini ada apa sih?” tanyaku.

Tingkah laku keempat cowok ini mulai membuatku benar-benar risih. Aku sadar ada yang tak wajar.

“Oh ya, Rin, emm… Doni pasti belum ngasih tau ke lo ya?” sahut Bobi.

“Ya belum lah, kalo dia udah tau mana mungkin Doni bisa megang tuh kunci mobil. Hahahaa” di lanjutkan oleh Alex. Hingga akhirnya mereka berempat tertawa bersama, hanya aku yang masih mengerutkan kening.

“Maksudnya apa?!” bentakku pada Doni. Mereka pun berhenti tertawa.

“oke… gini, Rin.” Doni terlihat bertele-tele.

“Apa??!” bentakku lagi, kemudian Alex, Tio, dan Bobi kembali tertawa. Aku semakin bingung, apa yang sebenarnya mereka tertawakan?

“Kamu mikir deh, apa mungkin aku masih sayang sama kamu?” kata Doni.

“hah?”

Secara tidak langsung pertanyaan tersebut bermakna bahwa Doni tak mungkin masih menyayangi aku.

“Jadi….” Aku mulai menyadari apa yang sedang terjadi disini. Permainan.

“Ya, benar, Rin. Lo itu cuma barang taruhan kita-kita…” sahut Tio.

“Tadinya gue gak yakin kalo Doni bisa nyium lo gitu aja, Rin. Tapi ternyata? WOW! HAHAHAHA” Kata Bobi dan diikuti tawa mereka berempat.

Tanganku bergerak hendak menampar wajah mulus Bobi, namun tangan Doni lebih cepat menahan gerakkanku. Ia menggenggam pergelangan tanganku sangat erat. “Don!”

“Apa? Ada masalah?”

“lepasin tangan gue!”

“Oke..” dia melepaskan tanganku dan kembali terkekeh.

“Lo bener-bener gak punya perasaan ya, Don! Jahat tau gak!” bentakku, saat ini kusadari mataku kembali meneteskan airmata.

“Gue? Gue gak punya perasaan? Lo gak punya cermin ya? Ngaca donk, Rin. Siapa yang lebih gak punya perasaan?”

“Lo……”

“Lo kira gampang nyimpan rasa sakit hati yang udah lo buat ke gue? Lo kira enak apa tiap hari nanggung penyesalan karena udah cinta sama orang yang salah? GAK!”

Aku terisak. Dadaku rasanya sesak. Sulit rasanya memahami apa yang sebenarnya sedang terjadi.

“Dulu dengan mudahnya lo nyuruh gue pergi karena lo lebih milih masa lalu lo, Rifan. Nah, sekarang? Liat apa yang lo dapat dari pilihan lo? Gimana rasanya?”

PLAAAAK!!!!!!!!!!!!!!!!

Telapak tanganku mendarat di pipi Doni. Tapi Doni hanya terkekeh.

“puas?” katanya. “Gue jauh lebih puas karena udah bisa cium bibir lo tadi, Rin. Di depan banyak orang….”

Ya Tuhan, aku benar-benar merasa bodoh. Aku menangis terisak, sementara itu aku tau Doni takkan peduli dengan airmataku.

“Sakit kan?” Doni mengangkat wajahku, memaksaku untuk menatap matanya yang penuh amarah. “Gue rasa ini setimpal dengan apa yang udah lo lakukan ke gue… Bye.”

Tak lama kemudian keempat pria itu berlalu dari hadapanku sambil terus tertawa.

Aku hancur untuk yang kesekian kalinya.

Ada yang bisa mendeskripsikan bagaimana mengungkapkan apa yang kurasakan saat ini? Rasanya aku ingin mati saja. Benar-benat menyakitkan.

Antara kecewa, marah, malu. Nyesal, bodoh, kesal, idiot. Semua bercampur dipikiranku. Kenapa semudah itu aku bisa dipermainkan oleh orang-orang yang aku sayangi? Baru saja aku merasa bahagia dengan kalimat-kalimat yang diucapkan oleh Doni. Namun sekarang, kurasa sudah tak ada jalan lain selain kematian.

Aku ingin mati saja…..rasa sakit ini terlalu sakit.. aku tak kuat!

***

Samar-samar kulangkahkan kaki menuju jalan raya. Airmata yang terus membasahi pipiku sudah tak kuhiraukan lagi. Sekelilingku seakan sunyi, aku merasa sendirian dalam keramaian. Kendaraan yang lalu-lalang tepat di hadapanku tak lagi terdengar suara mesinnya olehku. Sunyi.

Aku kembali terdampar ke masa lalu, ketika Doni memberiku sebuah pilihan. Pilih dirinya, atau Rifan.
Juga pilihan yang baru saja ia berikan selepas dari café, pilihan Ya atau Tidak..

Andai aku bisa merubah kedua pilihanku saat itu. Pasti semua ini takkan pernah terjadi.

Apa yang kupilih menentukan apa yang akan kudapatkan.

Dan jika sekarang aku memilih untuk mati?
…….


~The End~

baca cerpen lainnya disini

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

thanks for read and please leave a comment :)

FOLLOWERS