“Thank’s.” Rifan meninggalkanku. Ia berjalan menuju mobilnya
dan dengan sekejap sedan merah itu berlalu dari halaman kost ku.
*****
Apa yang sudah kulakukan?
*****
‘hari ini tepat
setahun setelah kejadian waktu itu. Tepat setahun sudah aku kehilangan orang yg
kusayangi juga orang yg menyayangiku, Rifan dan Doni.. mereka tak pernah
terlihat lagi setelah hari itu. Meski sesekali aku sempat berpas-pasan dengan
Doni, namun rasa bersalahku padanya membuat seolah ada benteng yg menghalangi
di antara kami. Aku benar-benar bodoh. Haha.
Andai aku diberi
kesempatan untuk mengulangi semuanya. Harusnya aku gak sia-siakan Doni…’
“Yakin?”
Suara seorang laki-laki di belakangku membuat jemariku
berhenti mengetik tombol-tombol di keyboard laptopku. Aku kenal suara itu,
masih sangat kukenal.
Aku tak berani berpaling ke belakang untuk melihat sosok
pria tersebut. Hingga akhirnya ia perlahan berjalan dan langsung duduk di
depanku. Perlahan pula kuarahkan pandangan padanya, memastikan bahwa ternyata
benar itu adalah Doni.
Nafasku sedikit tercekat. Seolah ada ribuan batu yang jatuh
di kepalaku saat ini. Setelah setahun saling menghindar satu sama lain, kenapa
hari ini Doni tiba-tiba muncul di hadapanku?
Rasanya pengen langsung lari saat itu juga.
“Sorry, ga bermaksud ngeganggu. Gue cuma kebetulan lewat.
Ngiseng ngintip ke laptop lo. Nebak-nebak, dan ternyata benar lo sedang nulis
diary. Ga pernah berubah.. haha..” ujar Doni sambil sedikit tertawa. Aku tak
berani menatap matanya, takut ia menyadari bahwa ada penyesalan yang
menghantuiku selama setahun belakangan ini.
Aku terus menatap monitor laptopku, dan jemariku mulai
mengetik-ngetik lagi. Melanjutkan tulisan yang belum usai. Kubiarkan Doni duduk
di tempat itu.
‘Apa mungkin aku bisa
mencintai Doni seperti aku mencintai Rifan? Ntahlah kenapa rasanya sulit untuk
membuka hati untuk Doni.. namun,
sudahlah. Mungkin juga Doni sudah tak menyimpan perasaan apapun padaku. Sudah
setahun berlalu, aku yakin semuanya hanya sisa kenangan.
Sekarang aku yang
harus mulai bergerak. Move on. Aku harus segera memulai kisah baru, dan
membiarkan kisah sebelumnya menjadi cerita yang telah usai. Aku harus bisa
melupakan Rifan, juga harus bisa memaafkan diriku atas apa yang sudah kulakukan
pada Doni. 2 hal yang benar-benar sulit. Aku tak tau ntah sampai kapan rasa
bersalah dan penyesalan ini kan terus datang menghantui hari-hariku.
Rasanya aku ingin
berlari dari kenyataan. Aku tak tau apakah aku bisa menghadapi semua ini atau
tidak. Bahkan waktu setahun belum bisa membuatku merelakan semuanya.
Aku harus
bagaimana………’
“Rin…”, seru Doni. Membuatku kembali berhenti mengetik.
Namun aku hanya terdiam. Lidah ini masih enggan bicara padanya.
“Udah setahun lo gini-gini terus. Lo harus bisa maafin diri
lo, Rin. Semuanya baik-baik aja kok.” Lanjut mantan kekasihku tersebut.
Apa maksud kalimatnya. Apa selama ini dia masih
memperhatikan aku? Apa itu mungkin?
“Gue gak mau lo jadi kayak gini. Gue kangen lo yang dulu.
Yang penuh antusias, rame, ceria. Bukan pemurung dan pendiam kayak sekarang.
Waktu setahun itu udah cukup untuk merenung semuanya. Gue mau lo balik kayak
dulu lagi..”
“Lo gak ngerti!”
Ntahlah kenapa rasanya aku tak ingin mendengar apapun ucapan
Doni. Buru-buru ku tutup laptopku dan langsung berjalan menjauhi meja. Namun
Doni menarik tanganku, membuatku sulit bernafas.
“Gue ngerti! Lo harus bisa lupain semuanya Rin. Gue tau
gimana perasaan lo terhadap Rifan. Gue ngerti gimana sakit yang ada di hati lo.
Dan gue juga paham gimana rasa bersalah muncul di benak lo tiap kali ngingat
semuanya. Mau sampai kapan, Rin? Gue kangen Rini yang dulu.” Tutur Doni.
Aku menatapnya, air mataku berlinang. Tak satu katapun
kuucapkan. Seolah ada yang menahanku untuk bicara, membuat tenggorokanku
bagaikan dicekik.
“Gue udah gak peduli lagi soal perasaan gue ke lo, atau soal
perasaan lo ke gue. Gue gak mikirin itu lagi. Tapi satu hal yang selalu
mengganggu pikiran gue itu tiap kali ngeliat lo kayak gini, murung, menyendiri,
diam. Itu bikin hati gue gak tenang, Rin. Gue khawatir sama lo. Gue gak mau lo
terus-terusan kayak gini…”
“Apa peduli lo sih? Ngapain lo mikirin gue segala? Lo gak
perlu ikut campur urusan gue lagi! Kita udah gak ada hubungan apa-apa lagi.
Jelas, kan?”
“Tapi gue masih sayang sama lo! Jelas??!” bentak Doni.
Bentakkan Doni membuat hampir seluruh mata yang ada di café
tersebut mengarah pada kami. Kedatangan Doni secara tiba-tiba membuatku lupa
bahwa saat ini kami sedang berada di tempat umum.
Air mataku menetes. Kalimat Doni membuatku semakin sakit.
Bagaimana bisa dia tetap mencintai aku yang jelas-jelas udah nyakitin dia?
“Lo bego ya?!!”
Aku berpaling dan berjalan secepat mungkin menjauhi café.
Doni mengikuti di belakangku.
“Gue gak tau ini namanya bego atau naïf, atau apalah…”
lagi-lagi Doni menahan langkahku. Membuatku terpaksa menatap matanya. “Gue
masih sayang sama lo, Rin.” Ucapnya perlahan. “Gue gak bisa ngeliat lo dalam
keadaan kayak gini terus.”
“Tapi….”
“kita mulai dari awal lagi… lupain masa lalu. Kamu mau kan?”
Doni menatapku dalam-dalam. Bisa kurasakan tatapannya yang penuh harapan. Bisa
kupahami betapa ia sungguh-sungguh dengan ucapannya.
“Tapi…” Tapi aku gak
tau apa aku bisa menjamin hati ini untuk gak nyakitin kamu lagi…..
Belum sempat kalimat itu kuucapkan, Doni menciumku.
Beberapa detik berlangsung, bisa kurasakan helaan nafasnya
yang hangat menyentuh kulit wajahku. Jantungku berdetak kencang. Bagaimana
mungkin ini bisa terjadi?
“Ya, atau tidak?” kata Doni perlahan ketika matanya tepat di
depan mataku.
“Ya….” Jawabku pelan.
Aku tersenyum dalam tangis. Doni ikut tersenyum mendengar
ucapanku. Beberapa orang yang melihat ke arah kami sesekali terdengar mencibir
tindakan Doni yang menciumku di depan umum. Tapi sudah tak ku pedulikan lagi
apa kata orang. Satu hal yang kusadari saat ini adalah, aku bahagia.
***
Aku dan Doni berjalan perlahan menjauhi café, sambil
sesekali bercanda kemudian tertawa, kami menuju tempat parkir. Aku merasa
seperti hidup kembali. Seolah kembali berwarna setelah selama setahun
belakangan ini semua terasa suram bagiku.
Hari ini, aku benar-benar bahagia.
“prokk… prokk.. prookk…” tiba2 terdengar seseorang, bukan,
tapi dua orang, atau…
Aku berpaling ke belakang untuk memastikan, dan ternyata ada
tiga orang pria disana yang ternyata mengikuti kami, mereka bertepuk tangan.
Aku mengenal ketiga sosok pria tersebut, Alex, Tio, dan Bobi. Mereka bertiga
adalah sahabatnya Doni.
“Kok mereka ada disini?” Tanyaku pada Doni yang berdiri di
sebelahku.
“Emmm….. mereka…” Intonasi Doni membuatku sadar bahwa ia tak
ingin menjawab pertanyaanku.
Tiga orang cowok itu berdiri di hadapan kami sambil sesekali
terkekeh, sesekali tersenyum aneh. Aku jadi penasaran, mereka mau ngapain?
“Wow!” seru Bobi sambil bertepuk tangan sesaat.
“Hai, Bob. Lex, Tio… kebetulan banget kalian disini.” Sapaku
pada mereka.
Aku mengalihkan pandangan pada Doni yang terlihat tak kaget
dengan kehadiran ketiga sahabatnya tersebut.
“Atau mungkin bukan kebetulan kali ya? Hehe” lanjutku,
mencoba untuk tak menunjukkan bagaimana penasarannya aku saat ini. Di sampingku
Doni terlihat cengar-cengir sendiri.
Aku mengerutkan kening. Kenapa tiba-tiba perasaanku gak
enak….
“Congratulation, Don. Gue gak nyangka lo berhasil.” Kata Alex
sambil sedikit tersenyum.
Ucapan congratulation tersebut membuatku berpikir, mungkin
itu sekedar ucapan selamat karena akhirnya aku dan Doni kembali berhubungan.
Aku ikut tersenyum.
“By the way,,,,, nih..” Tio tiba-tiba menyodorkan sebuah
kunci ke hadapan Doni. Dari bentuknya bisa kutebak itu adalah kunci mobil.
“Seperti yang udah kita sepakati..” lanjutnya.
“Sepakati? Apa? Ini ada apa sih?” tanyaku.
Tingkah laku keempat cowok ini mulai membuatku benar-benar
risih. Aku sadar ada yang tak wajar.
“Oh ya, Rin, emm… Doni pasti belum ngasih tau ke lo ya?”
sahut Bobi.
“Ya belum lah, kalo dia udah tau mana mungkin Doni bisa
megang tuh kunci mobil. Hahahaa” di lanjutkan oleh Alex. Hingga akhirnya mereka
berempat tertawa bersama, hanya aku yang masih mengerutkan kening.
“Maksudnya apa?!” bentakku pada Doni. Mereka pun berhenti
tertawa.
“oke… gini, Rin.” Doni terlihat bertele-tele.
“Apa??!” bentakku lagi, kemudian Alex, Tio, dan Bobi kembali
tertawa. Aku semakin bingung, apa yang sebenarnya mereka tertawakan?
“Kamu mikir deh, apa mungkin aku masih sayang sama kamu?”
kata Doni.
“hah?”
Secara tidak langsung pertanyaan tersebut bermakna bahwa
Doni tak mungkin masih menyayangi aku.
“Jadi….” Aku mulai menyadari apa yang sedang terjadi disini.
Permainan.
“Ya, benar, Rin. Lo itu cuma barang taruhan kita-kita…”
sahut Tio.
“Tadinya gue gak yakin kalo Doni bisa nyium lo gitu aja,
Rin. Tapi ternyata? WOW! HAHAHAHA” Kata Bobi dan diikuti tawa mereka berempat.
Tanganku bergerak hendak menampar wajah mulus Bobi, namun
tangan Doni lebih cepat menahan gerakkanku. Ia menggenggam pergelangan tanganku
sangat erat. “Don!”
“Apa? Ada masalah?”
“lepasin tangan gue!”
“Oke..” dia melepaskan tanganku dan kembali terkekeh.
“Lo bener-bener gak punya perasaan ya, Don! Jahat tau gak!”
bentakku, saat ini kusadari mataku kembali meneteskan airmata.
“Gue? Gue gak punya perasaan? Lo gak punya cermin ya? Ngaca
donk, Rin. Siapa yang lebih gak punya perasaan?”
“Lo……”
“Lo kira gampang nyimpan rasa sakit hati yang udah lo buat
ke gue? Lo kira enak apa tiap hari nanggung penyesalan karena udah cinta sama
orang yang salah? GAK!”
Aku terisak. Dadaku rasanya sesak. Sulit rasanya memahami
apa yang sebenarnya sedang terjadi.
“Dulu dengan mudahnya lo nyuruh gue pergi karena lo lebih
milih masa lalu lo, Rifan. Nah, sekarang? Liat apa yang lo dapat dari pilihan
lo? Gimana rasanya?”
PLAAAAK!!!!!!!!!!!!!!!!
Telapak tanganku mendarat di pipi Doni. Tapi Doni hanya
terkekeh.
“puas?” katanya. “Gue jauh lebih puas karena udah bisa cium
bibir lo tadi, Rin. Di depan banyak orang….”
Ya Tuhan, aku benar-benar merasa bodoh. Aku menangis
terisak, sementara itu aku tau Doni takkan peduli dengan airmataku.
“Sakit kan?” Doni mengangkat wajahku, memaksaku untuk
menatap matanya yang penuh amarah. “Gue rasa ini setimpal dengan apa yang udah
lo lakukan ke gue… Bye.”
Tak lama kemudian keempat pria itu berlalu dari hadapanku
sambil terus tertawa.
Aku hancur untuk yang kesekian kalinya.
Ada yang bisa mendeskripsikan bagaimana mengungkapkan apa
yang kurasakan saat ini? Rasanya aku ingin mati saja. Benar-benat menyakitkan.
Antara kecewa, marah, malu. Nyesal, bodoh, kesal, idiot.
Semua bercampur dipikiranku. Kenapa semudah itu aku bisa dipermainkan oleh
orang-orang yang aku sayangi? Baru saja aku merasa bahagia dengan
kalimat-kalimat yang diucapkan oleh Doni. Namun sekarang, kurasa sudah tak ada
jalan lain selain kematian.
Aku ingin mati
saja…..rasa sakit ini terlalu sakit.. aku tak kuat!
***
Samar-samar kulangkahkan kaki menuju jalan raya. Airmata
yang terus membasahi pipiku sudah tak kuhiraukan lagi. Sekelilingku seakan
sunyi, aku merasa sendirian dalam keramaian. Kendaraan yang lalu-lalang tepat
di hadapanku tak lagi terdengar suara mesinnya olehku. Sunyi.
Aku kembali terdampar ke masa lalu, ketika Doni memberiku
sebuah pilihan. Pilih dirinya, atau Rifan.
Juga pilihan yang baru saja ia berikan selepas dari café,
pilihan Ya atau Tidak..
Andai aku bisa merubah kedua pilihanku saat itu. Pasti semua
ini takkan pernah terjadi.
Apa yang kupilih
menentukan apa yang akan kudapatkan.
Dan jika sekarang aku memilih untuk mati?
…….
~The End~
baca cerpen lainnya disini
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
thanks for read and please leave a comment :)