‘Ntah
sejak kapan aku merasakan hal ini, namun sekarang aku sadar bahwa aku benar-benar merasakannya. Merasakan setiap
kehangatan, kedamaian, ketenangan, kenyamanan, setiap kali aku bersamanya.
Asalkan aku berada di dekatnya, aku selalu merasa baik-baik saja, bahkan dalam
keadaan yang tak baik-baik saja pun aku tetap merasa baik-baik saja, tenang.
Ntahlah kenapa dia bisa membuatku merasa demikian. Membuatnya seolah-olah
menjadi ‘narkoba’, bagaikan ada rasa candu yang membuatku selalu ingin berada
di dekatnya. Sepertinya aku akan terus membutuhkannya, aku sudah terlalu
“candu” dan sulit untuk berpaling…
Darah
mengalir hangat dari kepalaku, melewati landasan kening, perlahan menetes rancu
dari alis mataku. Kepalaku pusing, jantungku masih berdetak tak karuan. Rasa
takut menjerit dalam batinku, ingin rasanya aku berteriak dengan luka-luka yang
sesungguhnya mulai terasa nyeri di seluruh badanku ini. Namun dia membuat
semuanya berbeda.
‘bahkan dalam keadaan tak baik-baik
saja pun aku tetap bisa merasa baik-baik saja, asalkan aku bersamanya…’
Para
lelaki separuh baya mulai berkerumunan menghampiri kami, mereka terlihat panik
ketika menyadari keadaan kami yang sudah luka-luka dengan darah yang terlihat
di hampir setiap sudut tubuh. Aku bersyukur jantung ini masih berdetak, aku bersyukur
nafas ini masi berhembus, mata ini masih bisa melihat dunia, dan kulit ini
masih bisa merasakan nyeri, yang mana artinya itu aku masih hidup setelah
kecelakaan yang baru saja kualami bersamanya, Arya.
“Neng,
ayo kepinggiran!”, kata seorang bapak-bapak yang dengan sigap mengangkat
tubuhku kemudian meletakkanku di atas trotoar jalan dalam posisi duduk. Tak
lama kusadari Arya berdiri di hadapanku, terlihat tak kalah panik. Darah yang
mulai mengalir di lengan dan betisnya membuatku kaget.
“Ya,
lo gak papa?”, kataku sontak sambil berusaha mendekatinya, namun sayang fisikku
ternyata cukup lemah, lebih lemah dari apa yang kurasakan.
“Udah
duduk dulu neng, ini lukanya mau diobati…”, suara bapak-bapak yang
mengerumuniku terdengar tak begitu penting bagiku. Aku terfokus pada Arya yang
sedang berusaha tersenyum di hadapanku.
“Gue
gak papa, justru lo nih, dimana aja lukanya?”, kata pria berhidung mancung itu
sambil memaksakan diri untuk tersenyum, aku tau ia sedang menahan perih dari
luka-luka itu, tapi ia masih ingin tersenyum di hadapanku. Lagi-lagi membuatku
tenang…
“Maafin
gue ya… gue ceroboh banget!”, aku mulai terisak ketika ingatanku mulai
menyadari akulah penyebab kecelakaan ini. Andai saja tadi aku tak teledor
memainkan ponsel di perjalanan, pasti kecelakaan ini takkan terjadi.
“Udah,
santai aja. Bukan salah lo, kok. Emang tu jambret yang sialan!”, sahut Arya
berusaha menenangkanku. Ia mendekat, tangannya mulai memeriksa kepalaku yang
sedikit berdarah. “Kepala lo pusing?”
“Engga…”,
aku menggeleng pelan. Kemudian sigap tanganku meraih tangannya. “Lo beneran gak
ada yang parah?”, tanyaku lagi. Kali ini mata kami bertatapan. Spontan kehangatan
itu kembali kurasakan, merayap melalui celah-celah pandangan matanya yang
damai.
“Iya
serius gue gak papa, gak ada yang parah kok cuma luka-luka kecil doank udah
biasa… haha.”, katanya sambil sedikit tertawa. Aku tau ia masih berusaha
membuatku tenang, tanpa ia sadari bahwa melihat senyumannya saja sudah
membuatku tenang…
Jalanan
sepi, memang sangat besar kesempatan si ‘penjambret’ itu memakan korban di
lokasi ini, kawasan Puri Indah, Jakarta Barat. Tapi aku bersyukur, aku dan Arya
masih hidup, selain itu si penjambret juga tak berhasil merenggut
barang-barangku yang tadinya menjadi sasarannya.
“Sakit
sedikit ditahan ya neng….”, kata seorang bapak di sebelahku.
“Aaaaaaaaaaaaagggrrrhhhhhh!!!!!”,
aku langsung berteriak keras. Ntahlah apa yang lelaki separuh baya itu sedang
lakukan terhadap luka di lengan kananku, rasanya benar-benar perih. Aku tak
berani menoleh ke arah luka tersebut. Arya yang sedang memeriksa keadaan sepeda
motornya terlihat lebih menarik daripada luka-luka yang semakin terasa perih di
badanku ini.
Bapak-bapak
yang baik itu terlihat benar-benar ikhlas mengobatiku. Setiap permukaan luka
yang menganga diolesi dengan ‘minyak rem’, katanya agar darahnya berhenti
mengalir. Terserah mereka sajalah, yang terpenting saat ini adalah aku dan Arya
masih hidup, itu sudah lebih dari cukup. Untuk luka-luka ini nanti juka sembuh.
30
menit kemudian, setelah keadaan tak lagi sepanik semula. Akhirnya aku dan Arya
memutuskan untuk pergi dari tempat celaka tersebut. “Kamu yakin bisa bawa
motornya?”
“Yakin
lah, udah yuk buruan sebelum hujan…”, sahutnya santai sambil menyalakan mesin
motornya. Ajaib, sepeda motor yang sederhana itu tak terlihat ada yang rusak,
kecuali stang (stir) nya yang agak ‘oleng’, kata Arya.
Kami
berterima kasih kemudian berpamitan pada Bapak-bapak yang sudah menolong kami.
Aku mencoba menghafal lokasi ini, berharap suatu saat nanti aku bisa kembali
kesini dalam keadaan sehat lahir batin dan semoga masih bisa bertemu dengan
para ‘malaikat penolong tak bersayap’ itu. Amin.
***
Demam.
Panas dingin yang ditimbulkan akibat luka-luka ini mulai membuatknu sering
merintih sejak semalam setelah kecelakaan itu terjadi.
“Lo
ke klinik aja, Rin. Ntar kan disuntik terus dikasih obat penghilang rasa
sakit.”, kata Ita, teman sekamarku di kost.
Ke
klinik? Males. Males banget kalo nanti luka-lukanya dibersihkan dengan alcohol,
begini dan begitu. Pasti sakit!
“Gak
ah.”, jawabku kemudian kembali mencoba memejamkan mata.
Terbayang
dalam pejaman mataku senyum manis pria itu. Ah, andai saja saat ini dia ada
disini, pasti sakit ini takkan terasa.
Sejak
kejadian malam itu, aku memutuskan untuk libur dari kerjaan, sementara Arya
tetap masuk karena katanya dia sanggup untuk masuk. Aku berharap aku bisa masuk
kerja juga, supaya aku bisa bertemu dengannya, supaya luka-luka ini terasa
pulih, namun sayangnya fisikku masih terlalu lemah, dan luka-luka ini masih
terlalu basah untuk ‘bertemu dengan air’.
Sudah
dua hari aku tak bertemu dengan ‘sosok narkobaku’ itu, komunikasi hanya melalui
BBM. Aku benar-benar manja, ingin rasanya marah dengan kondisi tubuh yang
sedang lemah ini. Aku gak suka hanya tergeletak di atas tempat tidur sambil
memendam rasa kangen yang mulai menumpuk di hati. Aku ingin bertemu dengannya.
Andai
saja aku punya hak untuk meminta Arya datang menemuiku, andai saja aku berani,
andai saja…
Aku
sadar aku bukan siapa-siapa baginya, aku tak punya hak untuk memintanya datang
menemuiku. Aku tak berani memintanya menemaniku. Meskipun aku tau aku
membutuhkannya disisiku, aku ingin dia ada disini bersamaku, aku ingin
merasakan kenyamanan itu, rasa nyaman yang hanya kudapat darinya.
Luka-luka
ini terasa semakin menyakitkan. Sesekali aku menjerit pelan, membuat Ita
terjaga dari tidurnya. Aku tau aku pasti sangat mengganggu, tapi ya mau gimana
lagi?
“Besok
lo ke klinik yah! Gue anterin…”, kata Ita dalam suara parau. Jam menunjukkan
pukul 2 pagi.
Aku
memejamkan mata kembali, dan bayangan senyuman itu kembali hadir, perlahan
mengantarkanku dalam kelelapan…
***
Arya: ‘Rin, ntar pulang kerja gue
sama yang lain mau mampir ngejenguk lo ya…’
Karin: ‘Lo mau kesini?? Asikkk
hehehe. Beli makanan yang enak ya’
Arya: ‘Iya, gimana keadaan lo?’
Karin: ‘Ya gini-gini aja. Lukanya
masih basah…’
Arya: ‘cepet sembuh donk, masa
kalah sama gue. Hehe’
Karin: ‘makanya lo kesini supaya
gue cepet sembuh… hahaha’
Arya: ‘Yee emangnya gue obat???’
Sederetan
pesan melalui BBM antara aku dan Arya.
Sengaja
aku tak membalas BBM terakhirnya. Cukup hatiku yang menjawab ‘lo lebih dari
sekedar obat bagi gue, Ya… andai lo tau betapa besar pengaruh kehadiran lo
dalam keseharian gue’.
Jam
7.30 PM, Arya dan 2 orang teman kantor lainnya akhirnya tiba di kost. Mereka
bawa banyak makanan yang menggiurkan.
Namun
bagiku tak ada yang lebih menggiurkan daripada sosok Arya.
Kamar
kost yang hanya berukuran 3x3m ini mulai terlihat padat, dimana disisi lain
barang-barangku dan Ita cukup berantakkan, sekarang ditambah kedatangan tamu,
ya hikmahnya rasa ‘kedekatannya’ semakin berasa. Aku benar-benar senang bisa
bertemu dengan Arya malam ini.
“Anak
gaul tuh gitu ya… Kalo belom kenalan sama aspal jalanan kayaknya belum afdol
gaulnya. Hahaha”, celetuk Doni si cowok kalem yang selalu berpenampilan rapi.
“Hahahaa….”
Kami
tertawa, membuat seolah-olah aku merasa sudah pulih. Memang pertemuan dengan
teman-teman itu tak terkalahkan serunya. Meskipun hanya sekedar ngobrol
kemudian tertawa.
“Apaan
aja sih yang kena, Rin?”, tanya Charles penuh rasa ingin tahu.
“Ga
banyak kok. Cuma ini, ini, ini, sama ini…”, jawabku sambil menunjukkan satu
persatu lukaku yang terdapat di telapak tangan kanan, lengan kanan, bahu kanan,
dan pinggang sebelah kanan.
“Gilak
lo segitu dbilang ga banyak…”, sahut Doni, kemudian kami terkekeh bersamaan.
“Masih
banyakkan Arya, tuh.”
Arya
yang duduk di sebelahku mulai menghitung jumlah luka di kaki, tangan, dan
pundaknya. Kurang kerjaan banget ini
judulnya pada ngitungin luka, hahaha.
Tak
lama mengobrol, Doni dan Charles pamit pulang duluan karena mau ngejemput pacar
masing-masing. Tinggallah aku dan Arya berdua di kamar ini, dalam keadaan pintu
terbuka tentunya. Ita belum pulang karena sepertinya ia ada acara dengan teman
kerjanya di luar.
Keadaan
ini membuatku merasa seolah-olah memiliki Arya.
Dear waktu, please bergerak
perlahan, aku tak ingin moment ini cepat berlalu.
“Tadi
gimana kerjaan?”, tanyaku membuka pembicaraan setelah dua orang teman tadi
sudah benar-benar pergi.
“Fine.
Lancar-lancar aja.”, jawabnya sambil mengurut-urut telapak kakinya yang
ternyata bengkak.
“Kaki
lo dikompres air hangat, Ya. Biar bengkaknya hilang”
“iya
ntar.. hehe”
“Awas
lo kalo iya iya doank… gue gak mau lo kenapa-napa”,
Duh,
lebay deh gue. Nyesel rasanya melontarkan kalimat itu, karena akhirnya itu
membuat Arya terkekeh sambil terus mengurut pelan kakinya.
“Ada
juga elo nih, kapan mau sembuh????”, katanya. Ia mulai memperhatikan luka-lukaku.
“Ga
tau nih, lukanya juga belum kering…”
“Lagian
gak mau nurut gue. Kan gue udah bilang gak usah ke klinik. Kalo sama dokter tuh
lukanya di perban, ditutup, jadi lembab, jadi gak kering-kering. Gak mau denger
kata gue sih…”. Tuturnya panjang.
Aku
hanya mendengus. Benar kata Arya, andai luka di punggung telapak tanganku ini
gak diperban, pasti lukanya udah kering seperti luka di bahuku yang sudah mulai
mengering.
“Coba
lihat…”, Arya menarik tangan kananku perlahan. Aliran hangat dari tangannya
mulai merambat ke seluruh penjuru tubuhku. Aku tersenyum lega, seolah sedang
berada di taman yang penuh bunga dengan kupu-kupu berterbangan dimana-mana.
Aneh. Kenapa aku bisa senyaman ini…
“Cepat
pulih ya. Ntar sabtu gue ajak ke pantai deh…”, katanya.
“Serius
lo?”
Aku
kaget mendengarnya menyebutkan kata pantai, karena memang aku sudah lama sangat
merindukan tempat itu, sudah lama aku tak melihat riak ombak yang bergelut di
tepian lautan.
“Ya
iya lah! Makanya lo harus sembuh. Hari sabtu tinggal 4 hari lagi loh.”
“iya
iya gue pasti sembuh sebelum hari Sabtu! Dan lo janji ya bakal ngajak gue ke
pantai!”, aku benar-benar terdengar antusias.
“iya,
janjiiiiii”.
Tanpa
aku sadari, sedari tadi sejak kedatangan Arya, luka-luka di badan ini sama
sekali tak kurasakan. Sungguh, ajaib. Ntahlah akunya yang lebay atau memang
Arya punya charisma khusus yang benar-benar bisa membuatku selalu merasa
baik-baik saja setiap kali aku bersamanya.
***
Rabu,
Rasanya
gak sabar pengen buru-buru ke Sabtu. Pantai………..
Suara
deburan ombak di pesisir pantai senja hari rasanya sudah menghantuiku siang dan
malam. Membayangkannya saja sudah membuatku bahagia. Terlebih aku akan ke
tempat itu bersama Arya, seseorang yang selalu bisa membuatku tenang kapanpun
dan dimanapun. Sudah terbayang-bayang di anganku betapa indahnya senja Sabtu
nanti yang akan kulalui bersamanya di tepian pantai, bersama deburan ombak,
kicau burung, hembusan angin….
Aku
benar-benar tak sabar.
“Lo
ga masuk lagi, Rin?”, tanya Ita yang baru selesai mandi.
“Engga.
Hehe.”, Jawabku sambil cengengesan. Bayang-bayang suasana romantis di tepian
pantai semakin tajam menggorogoti pikiranku.
Hm,
kenapa aku jadi sangat berharap seperti ini…
“Dari
kemarin lo senyum-senyum mulu. Aneh banget. Ada juga orang abis kecelakaan tuh
kesakitan, bukannya senyum-senyum sendiri…”, cetus Ita sambil mulai merias
wajahnya di depan cermin.
“Ah,
lo. Temennya lagi bahagia juga…”
“Ciyye
emang bahagia kenapa???”
Akhirnya
kuceritakan semuanya pada Ita, mengenai kedekatan aku dan Arya. Bagaimana
perasaanku terhadap Arya, bagaimana setiap kali aku merasa nyaman ketika berada
di dekat pria berkacamata itu, dan bagaimana terpukulnya aku ketika aku
terpaksa harus menyadari bahwa hubungan ini hanya akan seperti ini dan hanya
akan terus begini. Karena…
“Jadi,
Arya udah punya pacar?”, Ita kaget. Ntahlah kaget beneran atau cuma sekedar
action supaya lebih terkesan real.
“Iya,
pacarnya sekarang di Turki. Lagi sekolah kedokteran. Keren ya? Beruntung dia
dapetin Arya. Arya juga beruntung bisa dapat cewek berprestasi yang bisa dapat
beasiswa ke Turki. Hmmm”,
Aku
bertutur seolah baik-baik saja. Aku tau setiap kata yang kulontarkan
masing-masing menusuk-nusuk ulu hatiku. Namun itulah kenyataan, kenyataan yang
aku tau memang harus kuhadapi. Hanya bisa kuhadapi.
“Lo
sehat gak sih, Rin?”, ekspresi wajah Ita kini mulai heran.
“Iya,
gue sehat kok. Hahaha…”
“Rin,
please deh. Gue ini cewek, gue tau gimana perasaan lo. Jadi gak usah sok happy
deh.”
“Gak,
Ta. Lo gak tau gimana perasaan gue…”
Gue juga gak tau ada apa sebenarnya
dengan perasaan gue.
Aku
tau, Arya sudah punya kekasih yang aku pun sadar bahwa ia jauh lebih baik
dariku. Aku sadar, aku tau, hatiku sama sekali tak mengharapkan untuk bisa
memiliki hubungan khusus dengan Arya. Ntahlah kenapa aku bisa berpikir seperti
itu, tapi memang dari hatiku aku sadar diri ini tak jauh lebih baik dari
pacarnya Arya. Aku sadar, dan aku mengerti jalan untuk menuju ke hubungan
serius bersama Arya itu hanyalah mimpi bagiku, tak akan pernah menjadi
kenyataan. Aku terima itu.
“Gue
cuma pengen terus ngerasa nyaman, Ta. Gue bahagia setiap kali bareng dia.
Setiap kali ngelihat dia ketawa, senyum, jokes. Semua tingkahnya bisa bikin gue
ngerasa tenang, damai, nyaman. Dan gue gak mau kehilangan kebahagiaan gue itu.
Gue udah terlalu terbiasa ngejalani waktu tanpa beban ketika gue bareng dia.
Gue…”
“Rin,
lo sadar gak sih? Lo egois. Lo mikir perasaan lo sendiri. Lo mikir kebahagiaan
lo sendiri. Bayangin kalo lo yang ada diposisi pacarnya Arya yang sekarang
sedang di Turki. Disamping itu juga lo harus sadar, Arya gak ada perasaan
apa-apa sama lo. Gue yakin dia sayang banget sama pacarnya, mereka udah pacaran
lama, lo tau itu kan? Tolong jangan mainin perasaan lo sendiri, Rin. Mau sampai
kapan lo kayak gini? Arya gak akan selamanya bisa jadi ‘narkoba’ buat lo, Rin.
Ingat dia udah jadi milik orang lain.”
Aku
diam sessaat, mencerna kata demi kata yang diucapkan Ita, tutur panjangnya bagaikan nuklir yang tiada henti meledak di kepalaku. Suaranya
terdengar lantang dan amat jelas menusuk ulu hatiku. Andai tadi aku menutup
kuping, mungkin aku tak perlu tersentak seperti ini.
“Ta.
Lo sadar gak sih kalimat lo udah bikin gue remuk?”
Airmataku
menetes. Kenapa aku seceroboh ini.
Ita
terdiam, aku terisak. Perlahan ia mendekatiku kemudian berhati-hati memelukku.
Aku semakin terisak. Ada apa denganku, kenapa nyeri di hati ini terasa lebih
perih dari luka-luka di badan ini. Kenapa tak tersadarkan olehku selama ini….
“Gue
yakin, pasti ada orang yang lebih baik yang akan bikin lo bahagia, Rin. Dan
orang itu bukan Arya. Lo harus pahami kenyataan. Lepasin Arya. Dia udah jadi
milik orang lain. Lo gak mau kan jadi cewek jahat yang bisa bikin hati cewek
lain sakit gara-gara lo?”
Kalimat
ita lagi-lagi membuatku tertusuk, hati ini semakin perih bagaikan luka bakar
yang tersiram air cuka.
Aku
hanya bisa menangis, tak ada kata yang dapat kulontarkan untuk membantah
kalimat Ita. Sekarang tak hanya hati, luka-luka di badanku pun mulai terasa
sakit. Seolah fisik dan batinku kian terpukul bersamaan.
Ya Tuhan, ini sakit…..
***
Jum’at…
Arya: ‘Rin. Gimana lukanya udah
kering belum?? Besok Sabtu loh hohohoho’
--
Arya: ‘Rin. Gue puyeng nih di
kantor jadi pada ngeselin gini. Huh’
--
Arya: ‘Lo tidur ya? Gapapa deh
tidur biar pulih ya. Besok kita ke pantai pokoknya!!!!’
Arya: ‘Rin,’
--
--
--
Arya: ‘Rin lagi apa?’
--
Dengan
sengaja kuabaikan semua pesan BBM Arya tersebut. Aku harus mulai melangkah dari
sekarang. Karena setiap detik aku peduli padanya akan semakin membuatku candu
akan kehadirannya. Akan semakin membuatku membutuhkannya. Yang mana aku tau
semua itu hanya akan membuatku semakin terluka meskipun terasa indah di awal,
tetap berbuah sakit di akhir karena aku takkan pernah bisa memiliki ‘sosok
narkobaku’ itu seutuhnya.
Keadaanku
sudah pulih 90%. Dan kuputuskan untuk membatalkan rencana ke pantai bersama
Arya esok.
Perih
rasanya, hal yang sudah kubayang-bayangkan indahnya, suasananya, kebahagiaannya,
kini harus terbatalkan begitu saja. Tapi aku yakin ini adalah langkah terbaik.
Benar kata Ita, aku tak boleh bergantung terus pada Arya, aku tak boleh
mempermainkan perasaanku sendiri. Aku harus hadapi kenyataan dengan tegas. Aku
tak boleh mencintai apalagi jika mengharapkan Arya, tak boleh. Aku tak ingin
ada wanita lain yang terluka karena cinta dan keegoisanku ini.
Berat,
sakit, namun pasti. Sama halnya dengan luka-luka di badan ini, meskipun sakit
dan sulit ditahan nyerinya, pada akhirnya akan sembuh juga. Waktu yang akan
mengantarkan aku disaat semua benar-benar sudah baik-baik saja. Aku yakin waktu
itu akan seegra tiba, meskipun aku tak tau ntah kapan…
“Lo
yakin, Rin?”, kata Ita di sebelahku. Ia siap mengantarku ke stasiun kereta.
“Iya,
gue udah minta cuti sebulan ke kantor. Dengan keadaan kayak gini Alhamdulillah
permintaan gue cepat disetujui atasan. Hehe”.
“Ntar
jangan lupa kabarin gue ya.”
Aku
mengangguk pelan.
Tak
lama ponsel smartphone ku kembali berbunyi, notifikasi BBM.
Arya:’Rin. Besok berangkat
pagi-pagi yuk? Gue pengen renang juga nih. Hehe’
Arya:’mau kan?? Lo luka-luka nya
udah pulih kan??’
Arya:’PING!!!’
Arya:’PING!!!’
Arya:’Lo baik-baik aja kan, Rin??
Bales kek.’
Arya:’Rin…………………………………………………………….’
Karin: ‘Sorry, Ya. Gue udah ambil
cuti di kantor dan hari ini gue berangkat ke Jawa, selama sebulan.’
Arya:’Loh, kok gitu? Trus gak jadi nih
ke pantai nya?’
Arya:’PING!!!’
Arya:’Kok tiba-tiba cuti sih? Gak
bilang-bilang lagi-____-‘
Arya:’Rin.’
Karin: ‘Sorry.. mungkin next time
deh :)’
Arya:’yah gitu……….’
*end
chat*
Mungkin
langkah selanjutnya aku harus delete
contact BBM nya.
Aku
tau aku akan sangat merindukan Arya.
Ya
anggaplah aku ini seorang pecandu narkoba, yang sekarang harus menjalani
rehabilitasi ke luar kota. Aku harus benar-benar menjauh dari 'narkoba' tersebut
agar aku bisa benar-benar ‘pulih’. Aku yakin di sepanjang tahap ‘pengobatanku’
nanti pasti aku akan sangat menderita. Aku harus melawan rasa candu yang
masih menggebu. Aku pasti bisa. Semoga waktu selama sebulan cukup untuk
menghilangkan rasa canduku terhadap Arya ini. Karena aku tak ingin ada hati
yang terluka, jangan hatiku, jangan hati gadis di Turki itu, juga jangan hati
Arya.
Semoga
saat kembali nanti aku sudah bukan ‘pecandu’ pria berkacamata itu lagi.
****
THE END****
Or…
To be continued…
Lanjutannya dong-_- bikin penasaran aja nih
BalasHapushehehehehe :'p sabar ya
Hapuskeren kak :)
BalasHapusi like it ^ ^ *lanjut..
BalasHapuslanjutin dong, bagus nih ceritanya~
BalasHapushai kak,bagus ceritanya,bisa dilanjtuin ga?secepatnya ya,aku berusaha jadi pembaca pertama deh wkwk:p
BalasHapus