Kamis, 11 Juli 2013

My Drug

‘Ntah sejak kapan aku merasakan hal ini, namun sekarang aku sadar bahwa aku  benar-benar merasakannya. Merasakan setiap kehangatan, kedamaian, ketenangan, kenyamanan, setiap kali aku bersamanya. Asalkan aku berada di dekatnya, aku selalu merasa baik-baik saja, bahkan dalam keadaan yang tak baik-baik saja pun aku tetap merasa baik-baik saja, tenang. Ntahlah kenapa dia bisa membuatku merasa demikian. Membuatnya seolah-olah menjadi ‘narkoba’, bagaikan ada rasa candu yang membuatku selalu ingin berada di dekatnya. Sepertinya aku akan terus membutuhkannya, aku sudah terlalu “candu” dan sulit untuk berpaling…

Darah mengalir hangat dari kepalaku, melewati landasan kening, perlahan menetes rancu dari alis mataku. Kepalaku pusing, jantungku masih berdetak tak karuan. Rasa takut menjerit dalam batinku, ingin rasanya aku berteriak dengan luka-luka yang sesungguhnya mulai terasa nyeri di seluruh badanku ini. Namun dia membuat semuanya berbeda.

‘bahkan dalam keadaan tak baik-baik saja pun aku tetap bisa merasa baik-baik saja, asalkan aku bersamanya…’

Para lelaki separuh baya mulai berkerumunan menghampiri kami, mereka terlihat panik ketika menyadari keadaan kami yang sudah luka-luka dengan darah yang terlihat di hampir setiap sudut tubuh. Aku bersyukur jantung ini masih berdetak, aku bersyukur nafas ini masi berhembus, mata ini masih bisa melihat dunia, dan kulit ini masih bisa merasakan nyeri, yang mana artinya itu aku masih hidup setelah kecelakaan yang baru saja kualami bersamanya, Arya.

“Neng, ayo kepinggiran!”, kata seorang bapak-bapak yang dengan sigap mengangkat tubuhku kemudian meletakkanku di atas trotoar jalan dalam posisi duduk. Tak lama kusadari Arya berdiri di hadapanku, terlihat tak kalah panik. Darah yang mulai mengalir di lengan dan betisnya membuatku kaget.

“Ya, lo gak papa?”, kataku sontak sambil berusaha mendekatinya, namun sayang fisikku ternyata cukup lemah, lebih lemah dari apa yang kurasakan.

“Udah duduk dulu neng, ini lukanya mau diobati…”, suara bapak-bapak yang mengerumuniku terdengar tak begitu penting bagiku. Aku terfokus pada Arya yang sedang berusaha tersenyum di hadapanku.

“Gue gak papa, justru lo nih, dimana aja lukanya?”, kata pria berhidung mancung itu sambil memaksakan diri untuk tersenyum, aku tau ia sedang menahan perih dari luka-luka itu, tapi ia masih ingin tersenyum di hadapanku. Lagi-lagi membuatku tenang…

“Maafin gue ya… gue ceroboh banget!”, aku mulai terisak ketika ingatanku mulai menyadari akulah penyebab kecelakaan ini. Andai saja tadi aku tak teledor memainkan ponsel di perjalanan, pasti kecelakaan ini takkan terjadi.

“Udah, santai aja. Bukan salah lo, kok. Emang tu jambret yang sialan!”, sahut Arya berusaha menenangkanku. Ia mendekat, tangannya mulai memeriksa kepalaku yang sedikit berdarah. “Kepala lo pusing?”

“Engga…”, aku menggeleng pelan. Kemudian sigap tanganku meraih tangannya. “Lo beneran gak ada yang parah?”, tanyaku lagi. Kali ini mata kami bertatapan. Spontan kehangatan itu kembali kurasakan, merayap melalui celah-celah pandangan matanya yang damai.

“Iya serius gue gak papa, gak ada yang parah kok cuma luka-luka kecil doank udah biasa… haha.”, katanya sambil sedikit tertawa. Aku tau ia masih berusaha membuatku tenang, tanpa ia sadari bahwa melihat senyumannya saja sudah membuatku tenang…

Jalanan sepi, memang sangat besar kesempatan si ‘penjambret’ itu memakan korban di lokasi ini, kawasan Puri Indah, Jakarta Barat. Tapi aku bersyukur, aku dan Arya masih hidup, selain itu si penjambret juga tak berhasil merenggut barang-barangku yang tadinya menjadi sasarannya.

“Sakit sedikit ditahan ya neng….”, kata seorang bapak di sebelahku.

“Aaaaaaaaaaaaagggrrrhhhhhh!!!!!”, aku langsung berteriak keras. Ntahlah apa yang lelaki separuh baya itu sedang lakukan terhadap luka di lengan kananku, rasanya benar-benar perih. Aku tak berani menoleh ke arah luka tersebut. Arya yang sedang memeriksa keadaan sepeda motornya terlihat lebih menarik daripada luka-luka yang semakin terasa perih di badanku ini.

Bapak-bapak yang baik itu terlihat benar-benar ikhlas mengobatiku. Setiap permukaan luka yang menganga diolesi dengan ‘minyak rem’, katanya agar darahnya berhenti mengalir. Terserah mereka sajalah, yang terpenting saat ini adalah aku dan Arya masih hidup, itu sudah lebih dari cukup. Untuk luka-luka ini nanti juka sembuh.

30 menit kemudian, setelah keadaan tak lagi sepanik semula. Akhirnya aku dan Arya memutuskan untuk pergi dari tempat celaka tersebut. “Kamu yakin bisa bawa motornya?”

“Yakin lah, udah yuk buruan sebelum hujan…”, sahutnya santai sambil menyalakan mesin motornya. Ajaib, sepeda motor yang sederhana itu tak terlihat ada yang rusak, kecuali stang (stir) nya yang agak ‘oleng’, kata Arya.

Kami berterima kasih kemudian berpamitan pada Bapak-bapak yang sudah menolong kami. Aku mencoba menghafal lokasi ini, berharap suatu saat nanti aku bisa kembali kesini dalam keadaan sehat lahir batin dan semoga masih bisa bertemu dengan para ‘malaikat penolong tak bersayap’ itu. Amin.

***

Demam. Panas dingin yang ditimbulkan akibat luka-luka ini mulai membuatknu sering merintih sejak semalam setelah kecelakaan itu terjadi.

“Lo ke klinik aja, Rin. Ntar kan disuntik terus dikasih obat penghilang rasa sakit.”, kata Ita, teman sekamarku di kost.

Ke klinik? Males. Males banget kalo nanti luka-lukanya dibersihkan dengan alcohol, begini dan begitu. Pasti sakit!

“Gak ah.”, jawabku kemudian kembali mencoba memejamkan mata.

Terbayang dalam pejaman mataku senyum manis pria itu. Ah, andai saja saat ini dia ada disini, pasti sakit ini takkan terasa.

Sejak kejadian malam itu, aku memutuskan untuk libur dari kerjaan, sementara Arya tetap masuk karena katanya dia sanggup untuk masuk. Aku berharap aku bisa masuk kerja juga, supaya aku bisa bertemu dengannya, supaya luka-luka ini terasa pulih, namun sayangnya fisikku masih terlalu lemah, dan luka-luka ini masih terlalu basah untuk ‘bertemu dengan air’.

Sudah dua hari aku tak bertemu dengan ‘sosok narkobaku’ itu, komunikasi hanya melalui BBM. Aku benar-benar manja, ingin rasanya marah dengan kondisi tubuh yang sedang lemah ini. Aku gak suka hanya tergeletak di atas tempat tidur sambil memendam rasa kangen yang mulai menumpuk di hati. Aku ingin bertemu dengannya.

Andai saja aku punya hak untuk meminta Arya datang menemuiku, andai saja aku berani, andai saja…

Aku sadar aku bukan siapa-siapa baginya, aku tak punya hak untuk memintanya datang menemuiku. Aku tak berani memintanya menemaniku. Meskipun aku tau aku membutuhkannya disisiku, aku ingin dia ada disini bersamaku, aku ingin merasakan kenyamanan itu, rasa nyaman yang hanya kudapat darinya.

Luka-luka ini terasa semakin menyakitkan. Sesekali aku menjerit pelan, membuat Ita terjaga dari tidurnya. Aku tau aku pasti sangat mengganggu, tapi ya mau gimana lagi?

“Besok lo ke klinik yah! Gue anterin…”, kata Ita dalam suara parau. Jam menunjukkan pukul 2 pagi.

Aku memejamkan mata kembali, dan bayangan senyuman itu kembali hadir, perlahan mengantarkanku dalam kelelapan…

***

Arya: ‘Rin, ntar pulang kerja gue sama yang lain mau mampir ngejenguk lo ya…’
Karin: ‘Lo mau kesini?? Asikkk hehehe. Beli makanan yang enak ya’
Arya: ‘Iya, gimana keadaan lo?’
Karin: ‘Ya gini-gini aja. Lukanya masih basah…’
Arya: ‘cepet sembuh donk, masa kalah sama gue. Hehe’
Karin: ‘makanya lo kesini supaya gue cepet sembuh… hahaha’
Arya: ‘Yee emangnya gue obat???’

Sederetan pesan melalui BBM antara aku dan Arya.

Sengaja aku tak membalas BBM terakhirnya. Cukup hatiku yang menjawab ‘lo lebih dari sekedar obat bagi gue, Ya… andai lo tau betapa besar pengaruh kehadiran lo dalam keseharian gue’.

Jam 7.30 PM, Arya dan 2 orang teman kantor lainnya akhirnya tiba di kost. Mereka bawa banyak makanan yang menggiurkan.

Namun bagiku tak ada yang lebih menggiurkan daripada sosok Arya.

Kamar kost yang hanya berukuran 3x3m ini mulai terlihat padat, dimana disisi lain barang-barangku dan Ita cukup berantakkan, sekarang ditambah kedatangan tamu, ya hikmahnya rasa ‘kedekatannya’ semakin berasa. Aku benar-benar senang bisa bertemu dengan Arya malam ini.

“Anak gaul tuh gitu ya… Kalo belom kenalan sama aspal jalanan kayaknya belum afdol gaulnya. Hahaha”, celetuk Doni si cowok kalem yang selalu berpenampilan rapi.

“Hahahaa….”

Kami tertawa, membuat seolah-olah aku merasa sudah pulih. Memang pertemuan dengan teman-teman itu tak terkalahkan serunya. Meskipun hanya sekedar ngobrol kemudian tertawa.

“Apaan aja sih yang kena, Rin?”, tanya Charles penuh rasa ingin tahu.

“Ga banyak kok. Cuma ini, ini, ini, sama ini…”, jawabku sambil menunjukkan satu persatu lukaku yang terdapat di telapak tangan kanan, lengan kanan, bahu kanan, dan pinggang sebelah kanan.

“Gilak lo segitu dbilang ga banyak…”, sahut Doni, kemudian kami terkekeh bersamaan.

“Masih banyakkan Arya, tuh.”

Arya yang duduk di sebelahku mulai menghitung jumlah luka di kaki, tangan, dan pundaknya. Kurang kerjaan banget ini judulnya pada ngitungin luka, hahaha.

Tak lama mengobrol, Doni dan Charles pamit pulang duluan karena mau ngejemput pacar masing-masing. Tinggallah aku dan Arya berdua di kamar ini, dalam keadaan pintu terbuka tentunya. Ita belum pulang karena sepertinya ia ada acara dengan teman kerjanya di luar.

Keadaan ini membuatku merasa seolah-olah memiliki Arya.

Dear waktu, please bergerak perlahan, aku tak ingin moment ini cepat berlalu.

“Tadi gimana kerjaan?”, tanyaku membuka pembicaraan setelah dua orang teman tadi sudah benar-benar pergi.

“Fine. Lancar-lancar aja.”, jawabnya sambil mengurut-urut telapak kakinya yang ternyata bengkak.

“Kaki lo dikompres air hangat, Ya. Biar bengkaknya hilang”

“iya ntar.. hehe”

“Awas lo kalo iya iya doank… gue gak mau lo kenapa-napa”,

Duh, lebay deh gue. Nyesel rasanya melontarkan kalimat itu, karena akhirnya itu membuat Arya terkekeh sambil terus mengurut pelan kakinya.

“Ada juga elo nih, kapan mau sembuh????”, katanya. Ia mulai memperhatikan luka-lukaku.

“Ga tau nih, lukanya juga belum kering…”

“Lagian gak mau nurut gue. Kan gue udah bilang gak usah ke klinik. Kalo sama dokter tuh lukanya di perban, ditutup, jadi lembab, jadi gak kering-kering. Gak mau denger kata gue sih…”. Tuturnya panjang.

Aku hanya mendengus. Benar kata Arya, andai luka di punggung telapak tanganku ini gak diperban, pasti lukanya udah kering seperti luka di bahuku yang sudah mulai mengering.

“Coba lihat…”, Arya menarik tangan kananku perlahan. Aliran hangat dari tangannya mulai merambat ke seluruh penjuru tubuhku. Aku tersenyum lega, seolah sedang berada di taman yang penuh bunga dengan kupu-kupu berterbangan dimana-mana. Aneh. Kenapa aku bisa senyaman ini…

“Cepat pulih ya. Ntar sabtu gue ajak ke pantai deh…”, katanya.

“Serius lo?”

Aku kaget mendengarnya menyebutkan kata pantai, karena memang aku sudah lama sangat merindukan tempat itu, sudah lama aku tak melihat riak ombak yang bergelut di tepian lautan.

“Ya iya lah! Makanya lo harus sembuh. Hari sabtu tinggal 4 hari lagi loh.”

“iya iya gue pasti sembuh sebelum hari Sabtu! Dan lo janji ya bakal ngajak gue ke pantai!”, aku benar-benar terdengar antusias.

“iya, janjiiiiii”.

Tanpa aku sadari, sedari tadi sejak kedatangan Arya, luka-luka di badan ini sama sekali tak kurasakan. Sungguh, ajaib. Ntahlah akunya yang lebay atau memang Arya punya charisma khusus yang benar-benar bisa membuatku selalu merasa baik-baik saja setiap kali aku bersamanya.

***

Rabu,

Rasanya gak sabar pengen buru-buru ke Sabtu. Pantai………..

Suara deburan ombak di pesisir pantai senja hari rasanya sudah menghantuiku siang dan malam. Membayangkannya saja sudah membuatku bahagia. Terlebih aku akan ke tempat itu bersama Arya, seseorang yang selalu bisa membuatku tenang kapanpun dan dimanapun. Sudah terbayang-bayang di anganku betapa indahnya senja Sabtu nanti yang akan kulalui bersamanya di tepian pantai, bersama deburan ombak, kicau burung, hembusan angin….

Aku benar-benar tak sabar.

“Lo ga masuk lagi, Rin?”, tanya Ita yang baru selesai mandi.

“Engga. Hehe.”, Jawabku sambil cengengesan. Bayang-bayang suasana romantis di tepian pantai semakin tajam menggorogoti pikiranku.

Hm, kenapa aku jadi sangat berharap seperti ini…

“Dari kemarin lo senyum-senyum mulu. Aneh banget. Ada juga orang abis kecelakaan tuh kesakitan, bukannya senyum-senyum sendiri…”, cetus Ita sambil mulai merias wajahnya di depan cermin.

“Ah, lo. Temennya lagi bahagia juga…”

“Ciyye emang bahagia kenapa???”

Akhirnya kuceritakan semuanya pada Ita, mengenai kedekatan aku dan Arya. Bagaimana perasaanku terhadap Arya, bagaimana setiap kali aku merasa nyaman ketika berada di dekat pria berkacamata itu, dan bagaimana terpukulnya aku ketika aku terpaksa harus menyadari bahwa hubungan ini hanya akan seperti ini dan hanya akan terus begini. Karena…

“Jadi, Arya udah punya pacar?”, Ita kaget. Ntahlah kaget beneran atau cuma sekedar action supaya lebih terkesan real.

“Iya, pacarnya sekarang di Turki. Lagi sekolah kedokteran. Keren ya? Beruntung dia dapetin Arya. Arya juga beruntung bisa dapat cewek berprestasi yang bisa dapat beasiswa ke Turki. Hmmm”,

Aku bertutur seolah baik-baik saja. Aku tau setiap kata yang kulontarkan masing-masing menusuk-nusuk ulu hatiku. Namun itulah kenyataan, kenyataan yang aku tau memang harus kuhadapi. Hanya bisa kuhadapi.

“Lo sehat gak sih, Rin?”, ekspresi wajah Ita kini mulai heran.

“Iya, gue sehat kok. Hahaha…”

“Rin, please deh. Gue ini cewek, gue tau gimana perasaan lo. Jadi gak usah sok happy deh.”

“Gak, Ta. Lo gak tau gimana perasaan gue…”

Gue juga gak tau ada apa sebenarnya dengan perasaan gue.

Aku tau, Arya sudah punya kekasih yang aku pun sadar bahwa ia jauh lebih baik dariku. Aku sadar, aku tau, hatiku sama sekali tak mengharapkan untuk bisa memiliki hubungan khusus dengan Arya. Ntahlah kenapa aku bisa berpikir seperti itu, tapi memang dari hatiku aku sadar diri ini tak jauh lebih baik dari pacarnya Arya. Aku sadar, dan aku mengerti jalan untuk menuju ke hubungan serius bersama Arya itu hanyalah mimpi bagiku, tak akan pernah menjadi kenyataan. Aku terima itu.

“Gue cuma pengen terus ngerasa nyaman, Ta. Gue bahagia setiap kali bareng dia. Setiap kali ngelihat dia ketawa, senyum, jokes. Semua tingkahnya bisa bikin gue ngerasa tenang, damai, nyaman. Dan gue gak mau kehilangan kebahagiaan gue itu. Gue udah terlalu terbiasa ngejalani waktu tanpa beban ketika gue bareng dia. Gue…”

“Rin, lo sadar gak sih? Lo egois. Lo mikir perasaan lo sendiri. Lo mikir kebahagiaan lo sendiri. Bayangin kalo lo yang ada diposisi pacarnya Arya yang sekarang sedang di Turki. Disamping itu juga lo harus sadar, Arya gak ada perasaan apa-apa sama lo. Gue yakin dia sayang banget sama pacarnya, mereka udah pacaran lama, lo tau itu kan? Tolong jangan mainin perasaan lo sendiri, Rin. Mau sampai kapan lo kayak gini? Arya gak akan selamanya bisa jadi ‘narkoba’ buat lo, Rin. Ingat dia udah jadi milik orang lain.”

Aku diam sessaat, mencerna kata demi kata yang diucapkan Ita, tutur panjangnya bagaikan nuklir yang tiada henti meledak di kepalaku. Suaranya terdengar lantang dan amat jelas menusuk ulu hatiku. Andai tadi aku menutup kuping, mungkin aku tak perlu tersentak seperti ini.

“Ta. Lo sadar gak sih kalimat lo udah bikin gue remuk?”

Airmataku menetes. Kenapa aku seceroboh ini.

Ita terdiam, aku terisak. Perlahan ia mendekatiku kemudian berhati-hati memelukku. Aku semakin terisak. Ada apa denganku, kenapa nyeri di hati ini terasa lebih perih dari luka-luka di badan ini. Kenapa tak tersadarkan olehku selama ini….

“Gue yakin, pasti ada orang yang lebih baik yang akan bikin lo bahagia, Rin. Dan orang itu bukan Arya. Lo harus pahami kenyataan. Lepasin Arya. Dia udah jadi milik orang lain. Lo gak mau kan jadi cewek jahat yang bisa bikin hati cewek lain sakit gara-gara lo?”

Kalimat ita lagi-lagi membuatku tertusuk, hati ini semakin perih bagaikan luka bakar yang tersiram air cuka.

Aku hanya bisa menangis, tak ada kata yang dapat kulontarkan untuk membantah kalimat Ita. Sekarang tak hanya hati, luka-luka di badanku pun mulai terasa sakit. Seolah fisik dan batinku kian terpukul bersamaan.

Ya Tuhan, ini sakit…..

***

Jum’at…

Arya: ‘Rin. Gimana lukanya udah kering belum?? Besok Sabtu loh hohohoho’
--
Arya: ‘Rin. Gue puyeng nih di kantor jadi pada ngeselin gini. Huh’
--
Arya: ‘Lo tidur ya? Gapapa deh tidur biar pulih ya. Besok kita ke pantai pokoknya!!!!’
Arya: ‘Rin,’
--
--
--
Arya: ‘Rin lagi apa?’
--
Dengan sengaja kuabaikan semua pesan BBM Arya tersebut. Aku harus mulai melangkah dari sekarang. Karena setiap detik aku peduli padanya akan semakin membuatku candu akan kehadirannya. Akan semakin membuatku membutuhkannya. Yang mana aku tau semua itu hanya akan membuatku semakin terluka meskipun terasa indah di awal, tetap berbuah sakit di akhir karena aku takkan pernah bisa memiliki ‘sosok narkobaku’ itu seutuhnya.

Keadaanku sudah pulih 90%. Dan kuputuskan untuk membatalkan rencana ke pantai bersama Arya esok.

Perih rasanya, hal yang sudah kubayang-bayangkan indahnya, suasananya, kebahagiaannya, kini harus terbatalkan begitu saja. Tapi aku yakin ini adalah langkah terbaik. Benar kata Ita, aku tak boleh bergantung terus pada Arya, aku tak boleh mempermainkan perasaanku sendiri. Aku harus hadapi kenyataan dengan tegas. Aku tak boleh mencintai apalagi jika mengharapkan Arya, tak boleh. Aku tak ingin ada wanita lain yang terluka karena cinta dan keegoisanku ini.

Berat, sakit, namun pasti. Sama halnya dengan luka-luka di badan ini, meskipun sakit dan sulit ditahan nyerinya, pada akhirnya akan sembuh juga. Waktu yang akan mengantarkan aku disaat semua benar-benar sudah baik-baik saja. Aku yakin waktu itu akan seegra tiba, meskipun aku tak tau ntah kapan…

“Lo yakin, Rin?”, kata Ita di sebelahku. Ia siap mengantarku ke stasiun kereta.

“Iya, gue udah minta cuti sebulan ke kantor. Dengan keadaan kayak gini Alhamdulillah permintaan gue cepat disetujui atasan. Hehe”.

“Ntar jangan lupa kabarin gue ya.”

Aku mengangguk pelan.

Tak lama ponsel smartphone ku kembali berbunyi, notifikasi BBM.

Arya:’Rin. Besok berangkat pagi-pagi yuk? Gue pengen renang juga nih. Hehe’
Arya:’mau kan?? Lo luka-luka nya udah pulih kan??’
Arya:’PING!!!’
Arya:’PING!!!’
Arya:’Lo baik-baik aja kan, Rin?? Bales kek.’
Arya:’Rin…………………………………………………………….’
Karin: ‘Sorry, Ya. Gue udah ambil cuti di kantor dan hari ini gue berangkat ke Jawa, selama sebulan.’
Arya:’Loh, kok gitu? Trus gak jadi nih ke pantai nya?’
Arya:’PING!!!’
Arya:’Kok tiba-tiba cuti sih? Gak bilang-bilang lagi-____-‘
Arya:’Rin.’
Karin: ‘Sorry.. mungkin next time deh :)
Arya:’yah gitu……….’

*end chat*

Mungkin langkah selanjutnya aku harus delete contact BBM nya.

Aku tau aku akan sangat merindukan Arya.

Ya anggaplah aku ini seorang pecandu narkoba, yang sekarang harus menjalani rehabilitasi ke luar kota. Aku harus benar-benar menjauh dari 'narkoba' tersebut agar aku bisa benar-benar ‘pulih’. Aku yakin di sepanjang tahap ‘pengobatanku’ nanti pasti aku akan sangat menderita. Aku harus melawan rasa candu yang masih menggebu. Aku pasti bisa. Semoga waktu selama sebulan cukup untuk menghilangkan rasa canduku terhadap Arya ini. Karena aku tak ingin ada hati yang terluka, jangan hatiku, jangan hati gadis di Turki itu, juga jangan hati Arya.

Semoga saat kembali nanti aku sudah bukan ‘pecandu’ pria berkacamata itu lagi. 


**** THE END****

Or…

To be continued…

baca cerpen lainnya disini :)

6 komentar:

thanks for read and please leave a comment :)

FOLLOWERS