Sudah hampir sebulan
belakangan ini aku dekat dengan seorang cowok, namanya Dio. Dia salah satu
teman sekelas di sekolahku. Cowok tampan berkulit putih yang tingginya
kira-kira 5 cm di atasku.
Berawal dari tuntutan
tugas kelompok yang membuatku dan Dio menjadi lebih kenal satu sama lain. Sejak
saat itu lambat laun hubunganku dan Dio semakin akrab. Ntahlah apa penyebabnya
hingga akhirnya kami menyadari bahwa semakin lama kami semakin saling membutuhkan
satu sama lain. Dan hari ini aku sadar bahwa aku mencintainya.
“Rin! Udah ngerjain PR
Fisika, belum?”, tanya Priska teman semejaku di kelas.
“Belum, lagian
ngumpulinnya masih minggu depan, kan?”
“Tumben. Biasanya kalo
dikumpulinnya bulan depan juga lo pasti ngerjainnya dari sekarang. Lagi ada
yang ngeganggu pikiran lo ya???”
“Gak ada kok. Haha”, aku
tertawa kecil mendengar pertanyaan Priska. Karena memang sejujurnya, ya. Ada
yang mengganggu pikiranku beberapa hari belakangan ini, salah satu makhluk Tuhan
bernama Dio.
“Bohong deh! Akhir-akhir
ini gue perhatiin lo sering senyum-senyum sendiri gak jelas gitu! Pasti lagi
kasmaran ya? Hayoo ngakuuuu”
“Dih, siapa yang lagi
kasmaran? Ada-ada aja lo. Haha”
“Ciyeeee. Siapa sih
cowok beruntung yang berhasil menyentuh hati seorang kutu buku teladan kita
ini??? Cerita donk, Rin!!!”
“Enggak, Pris! Gak
ada!”, lagi-lagi kujawab dengan tawa kecil.
Priska terus menggodaku,
dan aku tetap teguh dengan jawabanku. Tak ada yang boleh tau mengenai apa yang
terjadi dengan perasaanku terhadap Dio. Dan mengenai kedekatan kami, hanya kami
dan Tuhan yang tau.
Ya, ngapain harus
ngumbar-ngumbar kedekatan?? Emang dapat duit? Gak kan…
Aku dan Dio sepakat
merahasiakan kedekatan kami dari siapapun. Backstreet.
***
Sebulan kemudian, hubunganku
dan Dio masih gitu-gitu aja. Kami berteman lebih dari sekedar teman, ntahlah
apa itu namanya? TTM? Dan perlahan aku mulai jenuh dengan hubungan yang tidak
jelas ini. Secara diam-diam hatiku berharap hubungan ini bisa diperjelas
statusnya.
Ya, tentu saja. Aku tak
mau merasa seperti diberi harapan palsu terus….
Suatu hari akhirnya
tingkat kejenuhanku memuncak. Aku tak tau bagaimana caranya untuk membuat Dio
sadar mengenai hal ini. Aku masih berharap suatu saat dia akan sadar bahwa dia
sudah ‘menggantungkan aku setinggi ini’. Aku butuh kepastian!
Hari itu, jam sekolah
akhirnya usai. Dan seperti biasa, aku berjalan beberapa meter dari gerbang
sekolah ke jalan raya untuk bisa bertemu dengan Dio di ujung jalan tersebut.
Tapi kali ini sepertinya aku tak akan menuruti keinginannya untuk
mengantarkanku pulang seperti biasanya. Aku ingin mencoba untuk membuatnya
peka. Aku tak ingin merasa seperti digantung terus.
Dari kejauhan aku sudah
melihat Dio yang menungguku di ujung jalan itu, sama seperti hari-hari sebelumnya.
Di tempat itu tak ada yang akan tau bahwa kami bertemu. Ingat? Ini hubungan
yang rahasia…
Dio melambai ke arahku,
namun aku diam saja. Ketika aku tiba di ujung jalan tersebut, Dio langsung
tersenyum dan memberi ‘kode; agar aku segera duduk di boncengannya, namun
lagi-lagi aku hanya diam tak meresponnya.
“Kenapa?, tanyanya
ketika menyadari ekspresi wajahku tak seperti biasanya.
“Aku mau pulang naik
angkot aja.”, jawabku datar.
“Loh, kenapa? Kamu marah
sama aku?”
“Enggak. Aku cuma…..”,
kalimatku tertahan. Sebenarnya aku tak tau harus mulai dari mana untuk
menjelaskan apa yang ingin kukatakan.
“Cuma apa?”, Tanya Dio
lagi dengan penasaran.
Aku menghela nafas
perlahan kemudian melanjutkan kalimatku, “Cuma pengen menjauh dari kamu.”,
kataku dengan polosnya.
Dio menatapku heran,
“Kamu kenapa, sih?”
“Aku capek. Aku gak mau
semakin berharap pada ketidakpastian. Aku takut semuanya cuma harapan palsu!”,
kataku dengan tegas di hadapan Dio.
Kami terdiam sejenak,
tanpa kata. Tak lama kemudian sebuah angkot berhenti di ujung jalan tersebut.
Aku berjalan menjauhi Dio menuju ke arah angkot itu.
“Rin, please….”,
samar-samar desis Dio terdengar di telingaku. Tapi aku tak menghentikan
langkah. Dan angkot tersebut akhirnya beranjak meninggalkan ujung jalan itu,
bersamaku di dalamnya.
Semoga Dio paham apa
maksudku…
***
Di rumah, aku mulai
gundah. Serba salah rasanya. Pengen cerita tapi gak tau mau diceritain ke siapa
karena memang dari awal gak ada yang tau mengenai hubunganku dan Dio yang tak
jelas ini.
Setelah apa yang
kulakukan sepulang sekolah tadi, sekarang aku malah jadi resah. Bagaimana jika
Dio gak merespon dengan ‘kode’ ku tersebut? Bagaimana jika dia gak peduli?
Bagaimana jika akhirnya dia lebih memilih untuk meninggalkanku?
Aku hanya bisa mondar
mandir di dalam kamarku yang sempit sambil memegang HP di tanganku, berharap
tiba-tiba Dio akan menghubungiku. Tapi percuma, lagi-lagi hanya harapan kosong.
Karena tak tau harus
cerita pada siapa, akhirnya kuluapkan emosiku melalui social media Twitter.
“Apa kamu masih belum
paham juga??”
“Aku capek digantung
kayak gini terus!”
“Jangan-jangan kamu
memang PHP ya? Pemberi Harapan Palsu? L”
“Yaudah deh, mungkin
lebih baik aku ngelupain kamu….”
“I’m on my way to
forgetting you..”
Begitulah sederetan
status yang kuposting di Twitter. Semoga Dio baca!!
Tak lama setelah memposting status
galau tersebut, ponselku berdering. Akhirnya Dio ngirim SMS.
‘Rin….’ – gitu doang
isinya. Tak kubalas. Hingga beberapa menit kemudian ponselku kembali berdering.
‘Sorry…..’ – lagi-lagi cuma
SMS yang berisi 1 kata. Dan aku masih kuat untuk tak merespon SMS tersebut.
Sekitar 30 menit
kemudian, ponselku kembali berdering. 1 SMS lagi dari Dio.
‘Ok. Let me tell you.
I’ve tired of pretending. I need you. I want you in my life. And now I’m
begging you to stay. Stay with me….’ –
Isi SMS nya kali ini
akhirnya berhasil membuatku tersenyum lega. Dari kalimatnya tersebut dapat
kupahami bahwa dia memintaku untuk tetap bertahan denganya. Dia tak ingin aku
menjauh… begitu, kan?
‘R U SERIOUS??’- SMS terkirim.
Tak lama, SMS balasan
dari Dio muncul di layar ponselku.
‘I’m serious. Really J’
Aku tersenyum bahagia,
kamar sederhana ini menjadi saksinya betapa aku bahagia dengan jawaban dari Dio
tersebut. Meskipun tak ada kejelasan, setidaknya ada kepastian bahwa ia tak
ingin aku melupakannya….
Keesokkan harinya
hubunganku dan Dio kembali normal. Dan tentunya masih dalam keadaan tanpa
diketahui oleh siapapun.
***
Setelah saat itu,
hubungan yang tak jelas ini baik-baik saja. Meskipun terkadang aku masih berharap
sebuah kejelasan, tapi yasudahlah, begini saja sudah cukup asalkan aku masih
bisa berada di dekat Dio.
Namun, seminggu
menjelang hari ulang tahunku, tiba-tiba ada yang berubah dari cowok berwajah
oriental itu. Aku merasa perhatiannya terhadapku mulai menipis, dan sikapnyapun
mendadak cuek. Tapi setiap kali ditanya dia cuma bilang ‘gak papa’…
Hingga akhirnya tepat di
hari ulang tahunku, Dio benar-benar tak memberiku kabar. Ia seolah menghindar
dariku, dan menghilang begitu saja dari hari-hariku. Bahkan saat bertemu di
kelaspun ia seperti tak mengenalku. Apa ini artinya dia sudah muak
denganku?
Padahal aku sangat
berharap Dio menjadi orang pertama yang mengucapkan Happy Birthday untukku,
namun lagi-lagi harapanku sia-sia. Jangankan memberi ucapan selamat, ngirim SMS
atau telepon aku aja enggak. Tindakkannya membuat hari yang harusnya spesial
ini menjadi suram..
Sikapnya yang berubah
drastis tersebut kembali membuatku galau dadakan. Dan lagi-lagi aku tak punya
teman untuk berbagi cerita mengenai hal yang mengganggu pikiranku ini. Dan
kuputuskan untuk mengeluarkan unek-unek di Twitter lagi.
“Aku berharap ini cuma
lelucon!”
“Kemana kamu? Kenapa
menghilang begitu saja?!”
“Di kelas bahkan tak
menyapa ataupun melihatku. SMS atau telepon juga enggak! Jahat!”
“Mungkin aku bodoh. Tapi
aku sayang kamu. Ini hari ulangtahunku, kenapa kamu malah menjauh dariku??”
“Aku percaya, jika kamu
jodohku, pasti kamu akan kembali.. I believe it!”
“Terima kasih untuk 3
bulan yang mengesankan ini. Aku sayang kamu…”
Hingga pukul 10 malam di
hari ulang tahunku, Dio masih belum memberi kabar apapun. Lelah berharap,
akupun tertidur pulas. Terkadang masih berharap ketika terbangun nanti aku akan
menyadari bahwa apa yang terjadi hanyalah mimpi…
Namun belum lama aku
terlelap, tiba-tiba Ibu memanggilku. Akupun keluar kamar dan menghampiri Ibu.
“Kenapa, Bu?”, tanyaku
dengan suara berat akibat masih mengantuk.
“Ada yang nungguin kamu
tuh di luar..” jawab ibu santai.
“Loh, siapa?”
“Kamu lihat saja
sendiri….”
Menuruti perkataan Ibu,
aku langsung keluar dan melihat siapa yang ada disana.
Seorang laki-laki yang
postur tubuhnya ku kenal, mengenakan kaos biru, duduk manis di kursi tamu yang
tersedia di teras rumahku.
“Ngapain kamu kesini??”,
tanyaku dengan intonasi kesal. Mendengar suaraku Dio langsunng berdiri dan
menatapku sambil tersenyum.
“Happy Birthday…”,
katanya.
“Oh, kamu tau ini hari
ulang tahun aku??”, tanyaku dengan nada sinis. Aku sudah terlanjur badmood!
“Sorry……”
Aku membalikkan badan
hendak masuk ke dalam rumah kemudian menutup pintu dan membiarkan Dio berada di
luar. Namun belum sempat aku melakukan semua itu, Dio menghalangi langkahku.
“Rin!”, ia memegang
tanganku kemudian memaksaku menatap matanya…
Aku menghela nafas
perlahan, semoga Ibu gak tiba-tiba keluar melihat Dio sedang memegang telapak
tanganku. Malu!!
“Look at me…”
Aku menatapnya dengan
kening berkerut.
“I just wanna be the
last one who says Happy Birthday to you, including the last one you love…”, desisnya perlahan di
hadapanku. Membuat jantungku terasa seperti ingin berhenti berdetak.
Semoga aku tak salah
dengar!
Aku memejamkan mata
kemudian tersenyum dan mendengus kesal. “Jadi kamu sengaja seharian ini
ngerjain aku??!”, bentakku sambil mencubiti perutnya yang berlapis kaos oblong
berwarna biru.
“Hahahah, sorry…..”,
dia tertawa puas karena berhasil membuatku panic seharian. “Sorry udah
bikin hari spesial kamu jadi suram, ya…”, lanjutnya sambil dilanjutkan dengan
tawa lagi.
Dan malam ini menjadi
malam yang tak terlupakan. Juga kalimat yang tadi diucapkannya, Just
wanna be the last one….
Akupun mengharapkan hal
yang sama. Semoga J.
***
Beberapa minggu
kemudian, singkat cerita, hubungan tak jelasku dengan Dio tersebut akhirnya
berakhir begitu saja. Bukan menjadi ‘jelas’, namun menjadi ‘selesai’. Hanya
karena hal sepele yang terlalu panjang untuk diceritakan. Aku tak mau
membuang-buang waktu mengingat-ingat masalah itu.
Intinya hubungan yang
rahasia itu kini sudah tiada. Sudah hampir sebulan aku dan Dio lost
contact. Semua benar-benar menghilang. Kecuali perasaanku. Ntahlah kenapa,
aku masih menyimpan rasa sayang untuknya.
Ya, itu masalahnya. Aku
belum bisa melupakannya, kenangan bersamanya masih melekat di pikiranku. Dan
perasaan ini masih terlalu nyata dan menyakitkan untuk kuhadapi. Dimana
disamping semua itu aku tak punya siapapun untuk diajak berbagi cerita, karena
memang dari awal tak ada yang mengetahui hubungan tersebut, hubungan yang
bermula dan berakhir tanpa diketahui oleh siapapun.
Aku membetulkan letak
kacamata di wajahku, merapikan tataan rambut yang kukuncir kuda, kemudian mulai
menulis kata demi kata di lembaran buku diaryku. Kelas sedang sepi, tak ada
siapapun kecuali aku. Teman-temanku yang lain sedang mengikuti pelajaran
olahraga di luar kelas
Penaku mulai menari….
Dio Anggara. Aku gak
percaya kamu bisa semudah itu melupakan aku. Mana bukti kalimat kamu yang ingin
menjadi orang terakhir yang aku cintai? Sekarang kamu benar-benar ninggalin aku
gitu aja…
Dan bla… bla… bla… aku
terus menulis kata demi kata. Setelah beberapa halaman selesai, aku meletakkan
penaku dan iseng membaca kembali tulisanku tersebut.
Namun keheningan di
kelas ini mendadak buyar ketika Priska tiba-tiba muncul dan langsung merampas
buku diary yang sedang kubaca itu.
“Nah lo baca buku apaan,
nih?”
Aku kaget dan langsung
mencoba untuk merebut kembali buku tersebut.
“Dio Anggara~”, Priska
mulai membaca apa yang kutulis tadi.
“Priska, balikkin gak!!”
Tanpa melepas tatapannya
dari halaman di buku tersebut, Priska kembali bergumam.
“Jadi selama ini
diam-diam lo pacaran sama Dio Anggara??!!”, tanya Priska setengah berteriak.
“Jangan keras-keras!!! Balikkin
bukunya!”
Bukannya menuruti
perkataanku, Priska malah berlari keluar kelas. Ia sengaja berlari ke tempat
teman-teman yang lainnya sedang rehat di sisi lapangan basket, termasuk Dio.
“Dio!!!!!!!!!!!!”,
teriak Priska. Jantungku mau copot rasanya. Dio pasti akan semakin menganggapku
musuh jika Priska sampai mengetahui mengenai masa lalu yang rahasia itu.
Dio yang mendengar
teriakkan Priska langsung mengalihkan perhatiannya ke arah gadis yang berlari
menghampirinya tersebut dengan sebuah buku di tangannya. “Ada apa sih
teriak-teriak?”, tanya Dio dengan tampang agak kesal.
“Jadi, selama ini lo
pacaran sama Arin?? Kok kalian gak bilang-bilang, sih??!” Kata Priska di
hadapan Dio dan di dengar oleh seluruh teman sekelas kami yang saat itu berada
di sisi lapangan basket tersebut.
Malu! Aku benar-benar
merasa malu dengan apa yang dilakukan oleh Priska.
“Pris! Balikkin buku
gue!”
“Ngaku dulu soal
hubungan lo sama Dio. Baru gue balikkin!”
Aku melihat ke arah Dio
yang terlihat amat marah. Sementara itu teman-temanku yang lain terlihat tak
percaya dengan apa yang dikatakan oleh Priska. Dio seorang anak konglomerat
berwajah tampan, mana mungkin dia mau berpacaran dengan seorang kutu buku
berkacamata yang terlahir dalam sebuah keluarga sederhana seperti aku? Pasti itu
yang mereka pikirkan.
“Sorry….” ,
desisku perlahan. Semoga Dio paham bahwa bukan maksudku sengaja menyebarkan
mengenai hal ini. Semua ini tanpa unsur kesengajaan.
“Berarti benar ya kalian
pacaran???!”, teriak Priska lagi.
“Pris!!”, aku memohon
agar Priska tak mengulang-ulang kalimat itu lagi. Aku merasa tak enak pada Dio.
“Hah? Hahahahahahaha”,
ketika aku panik, Priska heboh, yang lain kebingungan, tiba-tiba Dio malah
tertawa. “Kalian bercandanya garing banget sih! HAHAHAHA”.
“Kok bercanda, sih?”,
Priska mulai bingung.
Aku hanya mengerutkan
kening.
“Lah, terus apa namanya
kalo bukan bercanda? Modus? Mikir dong pake logika, mana mungkin gue pacaran
sama cewek kayak Arin? Hahahahaha”.
Kalimat Dio bagaikan
ribuan jarum yang menusuk-nusuk di ulu hatiku. Kenapa Dio berkata seperti itu?
“Heh, Rin. Lo apa-apaan,
sih? Ngapain pake acara ngaku-ngaku jadi pacar gue? Pengen numpang tenar??”,
lanjut Dio lagi. “Ngaca dong!”.
Dibalik kacamata minus
ku bisa kurasakan airmata mulai tergenang disana. Nafasku tercekat, perih.
“Hahahahha. Si Arin
cerita apaan ke lo, Pris? Dia ngarang plus ngarep kali tuh!”
“Lagian gak mungkin lah
Dio mau sama Arin, hahahaha”
Mereka tertawa puas,
begitu pula Dio. Dia tertawa seenaknya tanpa beban. Apa dia sadar sudah melukai
hatiku?
Dio yang kulihat
sekarang tak seperti Dio yang dulu pernah memintaku untuk bertahan dengannya.
Dio yang ini seperti orang asing. 180 derajat berbeda!
Aku berlari sekuat
tenaga, sekencang mungkin menjauhi mereka semua. Gelak tawa mereka bagaikan
pisau yang menyayat-nyayat hatiku. Kenapa mereka begitu tega? Kenapa Dio tega??
Kenapa?!
***
Aku berdiri di ujung
jalan yang jaraknya beberapa meter dari gerbang sekolah. Tempat yang seharusnya
menjadi saksi dari hubungan tak jelas itu. Aku menyuruh Dio datang kesini untuk
menjelaskan padaku kenapa dia setega itu membuatku malu di depan teman-teman.
Aku harus bicara dengannya…
Tak lama aku menunggu,
Dio akhirnya tiba di tempat itu. Aku langsung menyerangnya dengan pertanyaan
yang sudah kusiapkan.
“Kenapa kamu ngomong
gitu ke teman-teman?”
“Gitu gimana? Toh emang
benar kita gak pernah pacaran, kan?”, jawabnya lantang.
“Terus? Yang dulu itu
apa? Hubungan kita kamu anggap apa? Sampah?”, aku berbalik membentaknya. Antara
marah, kesal, kecewa, semua bercampur jadi satu.
“Hubungan yang mana?
Emang gue pernah minta lo buat jadi pacar gue? Emang gue pernah nembak lo terus
kita jadian, gitu?”, tanya Dio. Aku terdiam. “Enggak, kan?!”, bentaknya di
wajahku.
Perlahan aku memutar
ingatan-ingatan masa lalu. Dan menyadari memang sepanjang hubugan itu tak
sekalipun Dio pernah memintaku untuk menjadi pacarnya. Tapi, kenapa dia bisa
secerdik itu? Seolah sengaja agar aku tak bisa berkata apapun setelah ia
kembali melempariku dengan pertanyaan-pertanyaan menyakitkan itu.
Lantas, apa maksud
kalimat-kalimatnya saat itu? ‘begging me to stay, wanna be the last
one…’
Apa?!
Aku hanya mampu
berteriak dalam hati, karena aku paham, percuma meskipun menentang Dio yang
mana jelas-jelas ia sudah tak ingin mengakui hubungan tersebut.
Kenapa aku begitu
bodoh??!!
“Udah? Jelas, kan? Mulai
detik ini anggap kita gak pernah kenal. Gue gak pernah punya perasaan apa-apa
ke lo. Bye!”, kata Dio, kemudian ia meninggalkanku masih di ujung jalan ini.
Betapa bodoh dan sialnya
aku……
Ujung jalan ini menjadi
saksi bahwa hubungan itu pernah ada. Andai saja hubungan itu tak backstreet.
Ah, sudahlah. Kurasa orang seperti Dio memang tak pantas untukku. Dia terlalu
jahat untuk menjadi orang terakhir yang kucintai.
Aku percaya, Tuhan tak
pernah tidur. Mungkin Dio bisa mengelak dan tak mengakui mengenai hubungan
tersebut pada siapapun, tapi tetap kenyataannya aku, Dio, dan Tuhan tau bahwa
hubungan itu pernah ada.
“I just wanna be the
last one who says happy birthday to you-“
Sorry, you couldn’t be
the last one who says happy birthday to me, because it wasn’t
the last birthday in my life.
“-including the last one
you love….”
And sorry, you’re not
the last one I love, because this is not the last relationship in my life.
Exactly, you’re not the
last one.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar
thanks for read and please leave a comment :)