Senin, 04 Februari 2013

Setitik Cinta Persahabatan


Jadi gini ceritanya..... Sebuah kisah tentang persahabatan, pahit, manis, tawar, semuanya... Sebut saja namaku, Rini. Sahabatku Uci, dan Intan... Mari kita mulai dongeng ini :') #jengjengjeng 

Aku, Uci, dan Intan, kami bertiga adalah fresh student di sebuah SMA di sebuah kota. Kami baru bertemu di hari pertama MOS (Masa Orientasi Sekolah) dan lagsung akrab. Ada banyak kesamaan di antara kami, selain sama-sama gokil, gila, smart, cantik #eagitulah tapi Uci yang paling menonjol, dia yang paling 'ayu', keturunan Jawa sih makanya ayu.....



Hari-hari selama MOS, kami bertiga masing-masing punya kakak idola, semuanya beda-beda. Kakak idolaku namanya Cahaya, dipanggil Aya. Aya itu kakak kelas 3 di sekolah, sedangkan kakak idolanya Uci dan Intan adalah Ryo dan Richard, mereka masih kelas 2. 

Namun dilema naksir sama kakak kelas itu cuma berlangsung selama MOS, setelah tahun ajaran dimulai, kami jarang komunikasi sama mereka. Hingga akhirnya aku, Uci dan Intan masuk di kelas yang sama, X-A. Kami benar-benar merasa beruntung bisa sekelas.

Di kelas aku duduk bareng Ira, dan uci bareng intan. Disini aku sedikit iri karrna mereka bisa duduk berdua sementara aku harus sama Ira yang baru kukenal di kelas ini. Pengennya sih aku duduk bareng Intan, eh ternyata jauh-jauh hari mereka berdua sudah janjian untuk duduk bareng di kelas.

Dan tepat di hari pertama masuk kelas, ada 1 orang cowok di kelasku yang menarik perhatian, Baim namanya.

"Lo naksir Baim yah?", tanya Ira ketika melihatku sedang diam-diam memperhatikan Baim yang duduk di barisan paling belakang kelas.

Aku tersenyum sambil pura-pura lugu, "dia cakep ya, manis, lucu.." kataku, dan Ira ikut tersenyum, senyuman yang penuh makna.

Selang beberapa menit, akhirnya kualihkan perhatian pada Uci dan Intan yang ada di sebelah kanan mejaku, di sebelahku. Aku menyadari mereka sedang berbicara serius. Karena penasaran, aku langsung menghampiri mereka, dan menanyakan apa yang terjadi. Kulihat tampang Uci kusut, wajahnya ditekuk.

"Uci kenapa?" tanyaku pada Intan sambil menatap Uci yang sesekali tersenyum dengan paksa.

"lagi galau..." bisik Intan. Membuatku semakin penasaran dan merasa diabaikan.

"kok gue ga tau?", tanyaku dengan nada sedikit ditekan. Kami bertiga selalu bersama selama MOS, dan sampai sekarang. Tapi kenapa aku gak tau masalahnya Uci? Disini aku merasa terabaikan.

"lo gak cerita ke Rini?" tanya Intan, dan uci menggeleng. Aku merengut. Kesel.

"ceritain aja, Tan.." kata Uci sambil sesekali menoleh ke belakang kelas..

Akhirnya Intan crita..

Dan ternyata, Uci galau karena ajakkannya untuk pulang sekolah bareng ditolak sama salah satu cowok yang dia suka. "emang siapa??" tanyaku heran.

Aku heran, cowok mana yang mau menolak ajakan seorang Uci? Cantik, pinter, ayu... Tapi penolakan itu pasti ada alasannya.

"itu tuh yang di belakang. Baim.", jawab Intan. Aku terdiam. Jadi Uci juga naksir sama Baim? Dan udah ngajak pulang bareng segala?

Aku tertegun, hebat juga si Uci berani ngajak cowok pula g bareng. Nah gue? Belom nyiapin apa-apa buat ngejar Baim. Tadinya aku mau cerita ke Intan dan Uci tentang perasaanku pada Baim. Tapi kalo gini ceritanya? Sampe kapanpun mereka ga akan tau.

Ya, aku telat selangkah. Hingga aku berpikir untuk lebih baik mengakhiri perasaan ini. Aku gak mungkin saingan sama temen sendiri.

"lo suka sama Baim?" tanyaku pada Uci dengan nada sedikit berhati-hati agar gak kelihatan nyesek.

"gue uda suka sejak hari pertama MOS" jawab Uci. Mungkin memang aku harus mundur...

"tapi kayaknya dia gak suka sama gue...",lanjut Uci dengan intonasi hampir menangis.

Ntahlah apa yang ada di pikiranku saat itu, tiba-tiba aku bilang "ntar gue bantu supaya lo bisa deket sama Baim!"

"emang bisa? Lo serius Rin?" Uci terlihat antusias. Dan, serius nih? Gue mau comblangin Uci sama cowok yang gue sendiri juga suka, Baim!

"iya donk! Tenang aja.." kataku meyakinkan Uci, sementara disaat yang bersamaan aku tau ada yang sakit di hati ini.

Aku gak tau kenapa aku bertingkah seperti ini. Padahal aku tau ini bisa melukaiku. Ini gak akan mudah. 

Hari itu pun usai. Dan luka ini dimulai. Aku harus penuhi janjiku untuk menyatukan Uci dengan cowok yang kami sukai, Baim. Aku gak tau apakah aku beneran bisa atau tidak. Tapi aku sudah terlanjur bilang sama Uci untuk membuatnya jadian sama Baim, aku salah langkah.

--

Dihari yg berbeda..

Pagi-pagi Ira memberiku surprise. Secarik kertas yang diremuk-remuk. "apaan nih?" tanyaku.

"Buka aja!" kata Ira sambil tersenyum lebar. Dan kubuka remukan kertas itu yang ternyata ada sederetan angka-angka di dalamnya, no telp. seseorang.

"ini no Hp lo?"

"ya bukan lah! Ini no Hp-nya Baim.." jawab Ira. Aku terdiam lagi. Ini no Hp Baim...

Harusnya ini menjadi kejutan sekaligus kabar gembira. Hey! gue bisa mulai PDKT sama Baim dengan modal no Hp ini. Tapi, bagaimana dgn Uci? Kita bertiga tau bahwa Uci jg punya perasaan sama Baim, gak mungkin gue bisa ngedeketin Baim, karena gue gak mau pertemanan gue Uci dan Intan rusak cuma gara-gara cowok yang bahkan baru kami kenal.

"Hey! Kok malah bengong sih? Teriak kek! Say WOW kek atau apalah! Atau lo lagi diam-diam kegirangan dalam hati ya? hahahaha" Aku tersenyum getir, Ira terlihat sangat bersemangat.

"Ra, thanks. Tapi..."

"Tapi tapi tapi apaan???" Ira menatapku serius, hingga akhirnya ia sadar ada hal yang membuatku pilu.  "Baim masih jomblo kok! Lo gak usah takut gitu....." ceplos Ira. Kenapa dia bisa segitunya tau soal Baim?

"Lo tau Uci kan?", aku dan Ira bersamaan melihat Uci di arah jam 3, disana dia sedang bisik-bisik dengan Intan, terlihat seru sekali. "Dia juga suka sama Baim."

Perlahan kualihkan pandangan pada Ira yang duduk di sebelah kiriku. Ia menatapku polos.

"So? Apa masalahnya? Lo suka sama Baim, Uci suka sama Baim, yaudah. Masalahnya apa?", ternyata Ira gak paham..

Hmmmmmh!

Aku menarik nafas dalam-dalam dan membuangnya perlahan.

"Ra, gue sama Uci dan Intan, kita bertiga udah temenan sejak hari pertama MOS. Kita uda deket banget. Bahkan gue yakin pertemanan kami bisa sampai ke titik persahabatan. Dan gue gak mau Baim ngerusak semuanya. Yang terpenting buat gue sekarang adalah pertemanan kami, bukan yang lain." kataku perlahan pada Ira yang ntahlah mengerti atau tidak, ia masih memajang wajah polos + bengong sambil mulut sedikit terbuka.

"Well, seandainya lo sama Uci tukeran posisi, apa lo yakin Uci bakal ngelakuin hal yang sama?" dari pertanyaan ini, aku merasa lega karena ternyata Ira paham apa maksudku.

Benar apa yang ditanyakan Ira, seandainya saat ini Uci yang ada di posisiku apa mungkin ia juga akan berfikiran yang sama denganku?

"Ntahlah, Ra. Gue cuma mau ngelakuin apa yang gue anggap lebih baik. Dan gue yakin, berhenti mengagumi Baim dan semua perasaan ini adalah yang terbaik", kupaparkan senyum pada Ira seraya mengembalikan remukan kertas yang berisi no hp Baim tadi. Ira tercengang bengong, mulutnya kembali terbuka. "Eh tapi kayaknya gue perlu ini deh!" kertas yang tadi kuambil lagi. Aku baru ingat no Hp ini bisa kuberikan pada Uci agar mereka bisa PDKT.

"Buat apaan?"

"Buat Uci", aku tersenyum sambil berlalu ke meja Uci dan Intan. Aku yakin ini senjata bagus untuk membuat Uci senang.

Aku benar-benar memimpikan sebuah persahabatan yang indah bersama Uci dan Intan, aku sayang mereka.....

"Hey Rin!" Uci langsung menyambutku ketika aku tiba di meja mereka. "Kebetulan banget, ada yang mau gue bilang" lanjut Uci.

"Apaan?"

"Lo tau Nani kan? itu tuh yang di sebelahnya  Kristy!" Uci menunjuk ke arah jam 5 tepat pada seorang cewek berbadan tinggi besar, berkulit hitam manis, rambutnya lurus pendek. Aku mengangguk. "Dia itu sepupunya Baim. Nah gue mau ntar lo ajak aja dia duduk bareng lo. Kan asik kalo dia bisa gabung sama kita. Gue bisa cari tau lebih banyak soal Baim!" Lanjut Uci dengan semangat 45.

Duh, gue jadi kambing kurban nih kayanya...

"Ngg... hehe.. iya ide bagus tuh!" aku nyengir-nyengir agak ragu. "Oh ya, gue juga punya sesuatu nuh buat lo", lanjutku sambil memberikan kertas yang kusut itu pada Uci.


Uci membuka kertas itu dan menyadari itu adalah sederetan no Hp. "Punya siapa?" tanyanya.

"Baim." jawabku singkat.

"Hah? Serius lo Rin? Lo dapet darimana???" Uci kegirangan.

"Ga penting gue dapet darimana. Intinya itu uda pasti no Hp nya Baim", kataku sambil tersenyum. Dan Uci terlihat benar-benar gembira. Intan disebelahnya ikut terlihat senang.

--

Singkat cerita, sebulan kemudian akhirnya Uci dan Baim jadian. Ntahlah itu berkat bantuanku atau memang usaha gigihnya Uci sendiri. Intinya sekarang mereka berpacaran dan perasaanku pada Baim belum hilang sepenuhnya. Masih terasa perih setiap kali melihat mereka berduaan, tapi aku harus kuat. Semua demi persahabatan.

"Lo yakin bisa baik-baik aja ngelihat orang yang lo suka mesra-mesraan sama sahabat lo di depan lo sendiri?", pertanyaan Ira ini selalu terlintas di kepalaku. Jelas saja jawabannya aku tak yakin.

Bayangkan, disaat bersamaan aku harus terlihat turut bahagia namun di hati bagaikan dicambuk. Sakit. Namun ini sudah pilihanku, aku yang memutuskan untuk mundur dan membiarkan Uci jadian sama Baim, yang secara tidak langsung aku sudah membiarkan diriku melukai hatiku sendiri.

Nyesal? Enggak. Sedikitpun aku tak menyesal. Karena memang bagiku persahabatan lebih penting, dan usahaku tidak sia-sia. Akhirnya aku, Intan, dan Uci sepakat untuk bersahabat, selamanya, selalu bersama, dalam ikatan persahabatan.

--

6 bulan kemudian, persahabatan kami semakin erat, meskipun sesekali terjadi keributan, berantem, saingan, salah paham, itu udah baisa dalam persahabatan, kami menjalaninya dengan baik bahkan sampai sekarang persahabatan itu masih terjaga dengan kokoh. Mengenai perasaanku pada Baim pun sudah perlahan mengalir hilang, kini Baim hanya cowok biasa dimataku.

Namun tiba-tiba persahabatan ini kembali diuji. Ketika hubungan Uci dan Baim mulai genting, dan aku tak sengaja masuk di antara mereka.

Uci cerita pada aku dan Intan bahwa hubungannya dan Baim sedang diambang putus. Sudah hampir seminggu komunikasi diantara mereka tak lancar. Namun anehnya selama seminggu itu aku cukup dekat dengan Baim, bukan dekat yang 'gimana-gimana', ya cuma sekedar dekat sebagai teman sekelas. Mulanya aku sama sekali merasa tak ada yang aneh, hingga suatu hari.

Di ruang OSIS, kebetulan aku Intan Uci dan Baim masuk menjadi anggota OSIS, saat itu kami sedang mengadakan rapat membahas suatu hal. Selama berkumpul, Baim dan Uci sama sekali tak bertemu pandang. Mereka cuek-cuekkan seolah saling tak peduli. Berbeda denganku yang sepanjang rapat selalu bercanda dengan Baim, ada saja yang membuat kami tertawa. Jujur, aku merasa nyaman. Dan sesaat aku lupa bahwa Baim ini masih pacanya Uci.

"Rin, ntar lo balik bareng gue ya soalnya gue mau ke rumahnya Nani sekalian", Kata Baim setelah pertemuan OSIS usai. Aku kaget. Sontak aku melihat ke arah Uci yang langsung menekukkan wajah. Aku tau dia pasti tak senang.

"hmmm..." belum sempat aku menjawab, Uci langsung buru-buru keluar ruangan disusul Intan dari belakang (kayak di sinetron2 gitu lah).

Baim menatapku penuh harap, namun pikiranku terlanjur jauh menerawang perasaan Uci. Pasti dia salah paham.

"Kayaknya ada yang salah deh.." kataku pada Baim.

"Rin, hubungan gue sama Uci....."

"Sssttt!" aku membuat Baim menghentikan kalimatnya, "Hubungan lo sama Uci, itu urusan kalian berdua. Dan hubungan gue sama Uci....." aku terdiam, Baim masih menatapku dengan wajah penuh harap. "Im, lo gak sedang mempermainkan kita kan?"

"Rin...."

"sssstt!!" lagi-lagi aku membuat Baim berhenti bicara. Aku berharap semoga uci tak benar-benar salah paham.

Aku langsung meninggalkan Baim bersama beberapa anak OSIS lainnya yang masih ada di ruangan itu. Dan mengejar Uci ke gerbang sekolah.

Di bawah terik matahari, Uci berdiri sendiri menunggu jemputannya. Aku menghampirinya tanpa ragu, karena memang seperti biasanya kami selalu menunggu jemputannya bertiga sama Intan. Tapi sepertinya Intan sudah pulang duluan. Sekarang kami hanya berdua di depan gerbang sekolah.

"Ci.." sapaku.

"hey.."

"Tadi main kabur-kabur aja, ga nungguin gue."

Uci tak memberi respon. "Eh lo tau gak tadi tuh Baim...."

"Apa?" bentak Uci. aku tak bisa melanjutkan kalimatku. "Udah sedekat apa lo sama Baim? Sampe-sampe kayanya lo lebih tau banyak hal tentang dia daripada gue?!" lanjutnya.


"Ci, lo ngomong apa sih?"

"Udah deh gak usah sok bego! Gue udah tau gelagat lo akhir-akhir ini. Lo ngambil kesempatan kan buat ngedeketin Baim karena sekarang gue sama dia lagi gak akur?! Cukup jelas Rin. Intan juga nyadar sikap lo yang semakin hari semakin bikin gue eneg! Gue sama Baim belum putus tapi lo udah berani-beraninya ngedeketin dia, terang-terangan di depan mata gue! Ini yang lo sebut persahabatan??!!"

Rasanya seperti matahari jatuh di kepala, panas. Aku gak percaya Uci menilai aku seburuk itu.

"Ci, gue gak nyangka lo nuduh gue sampe segitunya..." intonasiku melemah, airmataku hampir menetes.

"Gue juga gak nyangka lo tega nusuk gue dari belakang Rin! Sahabat macam apa lo? hah?!"

Aku kehabisan kata-kata, kalimat Uci rasanya benar-benar menusuk, sakit, perih. Airmatapun tak mampu kutahan lagi. Dituduh melakukan apa yang sama sekali tidak kita lakukan itu sakitnya double pake banget.

"terselah lo ci..", rasanya benar-benar tak percaya. Susah payah aku menjaga hubungan persahabatan ini, akhirnya rusak juga.

Aku berlari menyebrangi jalan, mengejar angkot yang biasa kunaiki untuk pulang ke rumah. Sebelum angkot itu beranjak meninggalkan gerbang sekolah, kulihat Ira ada disana, ia menatapku penuh rasa kesal, ntahlah apa yang ada dipikiran Ira, apa tadi dia dengar pertenggakaran gue dan Uci? Kalo dia dengar kalimat-kalimat Uci yang tadi, dia pasti paham apa yang aku rasakan saat ini. Sakit.

--

Malam harinya, Uci datang ke rumahku.

"Mau ngata-ngatain gue apa lagi?" tanyaku ketika melihatnya ada di depan pintu.

"Kenapa lo gak pernah cerita, Rin?"

"Cerita apa?"

"Udah deh lo gak usah tutup-tutupi lagi, Ira udah cerita semuanya ke gue. kenapa lo gak pernah bilang kalo ternyata dari dulu lo udah suka sama Baim?!" kalimat Uci terdengar sangat berat diucapkannya, meskipun aku tak menatapn wajahnya, aku tau ia sedang menangis. "Maafin gue Rin, harusnya gue gak ngata-ngatain lo kayak tadi"

Aku membalikkan badan, membelakangi Uci, ikut menangis (kayak di FTV giu deh..).

"Ira bener, kalo emang lo mau memiliki Baim, lo bisa memilikinya sejak awal. Harusnya gue gak sebodoh itu menilai lo. Gue bener-bener ngerasa gak enak sama lo", nada biaca Uci mulai jelas terisak. "Tapi gue gak ngerti, kenapa waktu itu lo diem aja waktu gue bilang gue suka sama Baim? dan kenapa lo malah mau bantuin gue buat jadian sama dia? Lo gak nyadar apa itu bisa bikin hati lo sakit?" lanjut Uci.

"Ntahlah Ci. Yang ada dipikiran gue waktu itu cuma 1, persahabatan. Gue pengen pertemanan kita waktu itu bisa mencapai titik persahabatan. Gue gak mau rencana gue berantakan cuma gara-gara Baim. Dan meskipun berat, buktinya sejauh ini kita berhasil kan? Kita masih bersahabat kan?"

Uci tersenyum sambil mengusap airmatanya, ia menghampiriku kemudian memelukku."Lo sahabat terbaik gue Rin. Selamanya. Thanks untuk semua yang udah lo lakuin tanpa sepengetahuan gue selama ini. Thanks uda korbanin perasaan lo sendiri cuma demi gue..."

"Demi persahabatan...."

"Sahabat... selamanya"

Dan akhirnya semua jelas. Terima kasih Ira yang sudah membantuku memperbaiki semuanya. Aku senang akhirnya Uci tau semuanya, dan yang lebih membuatku senang persahabatan ini masih terjalin, bahkan semakin erat.

Intinya dibalik kisah ini, aku ingin kalian semua paham, di dunia ini masih ada orang baik, masih ada orang yang setia, masih ada orang yang rela berkorban demi apapun yang lebih diutamakannya. Dan bagiku, persahabatan itu jauh lebih penting daripada cinta. Aku bahagia bisa memiliki sahabat seperti Uci dan intan.

~Magic Girls~

**the end**





Baca juga cerpen lain nya disini :) thanks.....

9 komentar:

thanks for read and please leave a comment :)

FOLLOWERS